Tiga
artikel berjudul Mafahim Yang Harus Di Luruskan, Qul Hadzihi Sabily (Seputar Tasawuf), dan Qul Hadzihi Sabily II (Seputar Tasawuf) ternyata membuat wahabi kebakaran jenggot. Pasalnya tiga artikel tersebut
membongkar kebohongan wahabi dan fitnah mereka terhadap madzhab Asy’ari dan
tasawuf. Al-Hamdulillah tidak ada satu pun penulis wahabi yang mampu menanggapi
artikel tersebut.
Para
pengikut wahabi hanya mencak-mencak sambil berteriak bahwa madzhab asy’ari
bid’ah-lah, tasawuf sesat-lah dan tetek bengek ocehan lainnya yang sama sekali
tidak ilmiyah. Bisa jadi wahabi telah kehabisan ilmu. Dan karena sudah kadung
menyalahkan maka mereka berusaha bertahan pada posisi mereka yang salah. Dari
sini kita semua bisa menilai siapa wahabi? Bahwa mereka adalah grombolan orang
fanatic yang gemar menyalahkan orang lain yang tidak sejalan dengan mereka.
Dalam
artikel berjudul “Qul Hadzihi Sabily II (Seputar Tasawuf)” saya berjanji akan membahas delapan
point yang oleh wahabi dianggap sebagai pokok ajaran tasawuf. Setelah saya cek
dengan cara merujuk ke kitab tasawuf secara langsung, ternyata 8 point itu
bukan pokok ajaran tasawuf. Melainkan hanya istilah yang digunakan oleh ahli shufi.
Untuk lebih jelasnya silahkan baca di http://goleksurgo.blogspot.com/2013/04/qul-hadzihi-sabily-ii-seputar-tasawuf_395.html
Delapan
point yang dianggap sebagai pokok ajaran tasawuf oleh wahabi adalah Thoriqot, Syekh pemberi
wirid, Baiat, Wirid, Kholwah, Kasyaf, Fana’ dan Zhohir dan Batin atau Syariat
dan Hakikat. Pada artikel ini kita akan membahas 2 point yaitu masalah thoriqoh
dan hakikat.
Ketika membahas masalah thoriqot, Abu Bakar Jabir Al Jazairi-ustad wahabi-, berkata: “Thoriqot adalah hubungan murid (seseorang yang berkehendak untuk
sampai kepada Alloh dengan jalan dzikir dan memelihara dzikir tersebut) dengan
syaikh (guru)nya. Baik Syaikh tersebut masih hidup maupun mati. Caranya, dzikir
waktu pagi dan petang hari sesuai dengan izin sang Syaikh-nya tersebut.”
Tanggapan:
Yang anda anggap sebagai thoriqot itu bukan
thoriqot, melainkan sanad atau mata rantai yang menghubungkan antara murid dan
guru. Sedangkan thoriqot dalam tasawuf adalah jalan menuju Alloh sebagaimana
yang akan saya jelaskan nanti, insya Alloh.
Ketika membahas masalah hakikat ustad wahabi itu
berkata: “Diantara
kebid’ahan sufi yakni adanya pembagian ilmu menjadi zhahir dan batin, dan
pembagian agama menjadi syari’at dan hakekat. Mereka menisbatkan bahwa Islam
adalah tarekat (jalan,cara), Sedangkan tarekat hanyalah washilah (sarana), dan
buahnya adalah hakekat. Inilah kesesatan Sufi mereka membagi-bagi Islam sesuai
hawa nafsu mereka diatas kebodohan.”
Tanggapan:
Syekh Hisyam Al-Kabbani berkata: “Apapun yang
tidak dipahami oleh manusia adalah ilmu bathin, tetapi bagi seseorang yang
mengetahuinya, hal itu tidak tersembunyi dan gamblang. Ilmu bathin tidak bisa
dipahami oleh kebanyakan orang, tetapi bagi kami (Shufi) ilmu itu adalah sebuah
realitas. Seseorang mungkin berfikir bahwa ada dua jenis ilmu tetapi sebenarnya
tidak ada perbedaan antara ilmu lahir dan ilmu bathin. Itu hanyalah persoalan
pemahaman.”1
Jadi sebenarnya shufi tidak membagi ilmu menjadi
dua. Akan tetapi karena tingkat pemahaman manusia berbeda, ada yang faham dan
ada yang tidak, maka seolah-olah ilmu ada dua. Sesuatu yang tidak dipahami oleh
kebanyakan orang, dalam sufi disebut sebagai ilmu bathin. Sedangkan ilmu yang
dipahami oleh kebanyakan manusia disebut sebagai ilmu zhohir.
Pembagian itu bukan hal yang bid’ah. Sejak zaman
sahabat, pembagian ini telah ada sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Huroiroh.
حفظت من رسول الله صلى
الله عليه وسلم وعاءين فأما أحدهما فبثثته وأما الأخر فلو بثثته قطع هذا البلعوم
“Aku
mengingat dua jenis ilmu dari Nabi SAW. Salah satunya telah ku ajarkan
sedangkan yang lainnya, jika aku sebarkan pasti tenggorokanku akan dipotong.”2
Ilmu apa yang disimpan oleh abu Huroiroh? Banyak
hal dalam al-Qur’an yang tidak dipahami sepenuhnya hingga saat ini. Bahkan ilmuwan
modern mengatakan bahwa dalam al-qur’an mengandung banyak rahasia, dan rahasia
tersebut merupakan salah satu aspek kemukjizatan al-Qur’an.
Rahasia-rahasia inilah yang dalam tasawuf
disebut sebagai ilmu bathin. Jika kerahasiaan itu telah dipahami oleh manusia
maka ia tidak lagi disebut sebagai ilmu bathin. Melainkan ilmu zhohir. Jadi
sebenarnya ini hanya persoalan pemahaman. Wahabi tidak mampu memahami ucapan Abu
Huroiroh Ra dan ucapan shufi, sehingga wahabi mengatakan pembagian itu adalah
bid’ah.
Kita kembali
ke masalah thoriqot. Abu Bakar Jabir Al Jazairi-ustad wahabi-, berkata: “Thoriqot adalah
hubungan murid dengan guru.” Bagaimana bisa ustad wahabi memaknai thoriqot
sebagai hubungan murid dengan guru? Silahkan anda buka seluruh kamus bahasa
arab, Mu’jam Al-Wasith, Mu’jam Alfazhil qur’an atau kamus apa saja. Adakah yang
memaknai thoriqoh adalah hubungan murid dengan guru? Sebelum anda membuka
seluruh kamus maka saya pastikan bahwa makna seperti itu tidak disebutkan dalam
kamus apapun kecuali dalam kamus hayalan ustad wahabi.
Thoriqoh adalah mu’anats dari kata Thoriq. Ia
merupakan murodif atau sinonim kata sabil dan manhaj. Dalam kitab Mu’jam,
thoriq dimaknai sebagai sabil.3 Demikian juga kata manhaj. Dalam kitab
itu dimaknai sebagai sabil.4 Jika diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia maka artinya adalah jalan atau metode.5
Ketika wahabi mengaku sebagai pengikut manhaj
salaf, ini sama artinya mereka adalah pengikut thoriqoh salaf. Sebab manhaj dan
thoriqoh adalah sinonim. Anehnya ketika ada orang diluar wahabi menggunakan
kata thoriqoh, wahabi langsung mengklaim bahwa mereka bid’ah dan sesat. Padahal
manhaj dan thoriqoh memiliki arti yang sama yaitu jalan atau metode. Dari sini
dapat kita ketahui bahwa wahabi tidak paham bahasa arab. Wahabi tidak tahu
tentang murodif atau sinonim kata arab. Di SD ketidak tahuan semacam ini
disebut bodoh. Siapa yang bodoh? Ustad wahabi atau shufi?
Dalam ajaran tasawuf dikenal tiga istilah, yaitu
syari’at, thoriqot dan hakikat. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab “Muroqil
Ubudiyah” menjelaskan arti ketiga istilah itu dengan menukil ucapan Syekh
Showi, penulis kitab Showi Syarah Tafsir Jalalain. Kata beliau: “Syariat
adalah hukum-hukum dari Alloh yang dibebankan kepada kita oleh Rosululloh SAW
mencangkup hukum wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Thoriqoh adalah
mengamalkan hukum wajib dan sunah serta menjauhi yang haram dan makruh. Hakikat
adalah kepahaman terhadap hakikat sesuatu.”6
Kepahaman terhadap hakikat sesuatu merupakan
ilmu yang diberikan oleh Alloh setelah mengamalkan syariat, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Al-Anfal: 29.
إن تتقوا الله يجعل لكم
فرقانا
“….. jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu
Furqonan….”
Seseorang yang bertaqwa pasti akan melaksanakan
perintah Alloh. Pelaksanaan ini dalam tasawuf disebut sebagai thoriqoh. Jika ia
melaksanakan perintah itu maka Alloh akan memberinya فرقانا yang artinya
-sebagaimana yang termaktub dalam Tafsir Ibn Katsir- adalah jalan keluar,
keselamatan, pertolongan dan pemisah antara hak dan bathil.7
Pengertian-pengertian tersebut dalam tasawuf
disebut dengan kepahaman yang diberikan oleh Alloh kedalam hati yang pada
gilirannya mereka sebut ilmu hakikat. Kepahaman ini sesuai dengan firman Alloh Al-Baqoroh: 282
واتقوا الله ويعلمكم الله
“….Dan bertakwalah kepada Allah; dan Allah akan mengajarmu…”
Hal senada juga di jelaskan dalam surat Al-Baqoroh: 239, 151 dan An-Nisa:
113.
Oleh karena itu Imam Malik berkata:
من
عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
“Barang siapa melaksanakan apa yang
ia ketahui maka Alloh akan memberinya ilmu yang tidak ia ketahui.” Kalimat علم (Pengetahuan) dalam tasawuf disebut
syari’at. Kalimat عمل (Pengamalan) dalam tasawuf disebut thoriqot. Kalimat ورثه الله علم ما لم يعلم dalam tasawuf disebut hakikat.8
Mungkin ada ustad wahabi yang
bilang: “Jika memang thoriqoh adalah mengamalkan hukum syari’at mencangkup
hal yang wajib dan sunah serta menjauhi hal yang haram, lalu mengapa di
Indonesia tersebar thoriqoh-thoriqoh yang hanya mengamalkan wirid atau dzikir
seperti thoriqoh naqsabandiyah, thoriqoh alawiyah, thoriqoh tijaniyah dan
lain-lain? Mengapa mereka mengamalkan itu? Tidak cukupkah amalan-amalan wajib
atau sunah seperti sholat dan puasa?”
Jika benar ada Ustad atau ulama
wahabi yang bicara seperti itu, maka saya katakana: “Pak! silahkan anda
belajar islam dulu. Jangan jadi ustad atau ulama premature yang memaksakan diri
menjadi ustad atau ulama sebelum waktunya.”
Ketahuilah bahwa yang disebut
thoriqoh tidak hanya membaca wirid atau dzikir naqsabandiyah atau alawiyah.
Lebih dari itu mengamalkan setiap perintah juga dapat disebut sebagai thoriqoh.
Seseorang yang menekuni sholat tahajud berarti dia menekuni thoriqoh sholat.
Seseorang yang menekuni puasa senin dan kamis berarti dia menekuni thoriqoh
puasa.
Dzikir atau wirid adalah printah
Al-Quran. Ada banyak sekali ayat yang memerintah kita untuk berdzikir. Seperti
Al-Anfal: 45;
واذكروا
الله ذكرا كثيرا لعلكم تفلحون
“… berdzikirlah kepada Alloh dengan dzikir yang
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”
Kalimat واذكروا adalah fi’il amar (kata perintah). Menurut
ulama ushul fiqh kalimat perintah menunjukan hukum wajib kecuali jika ada
qorinah atau indikasi bahwa itu sunah. Maka hukumnya disesuaikan dengan qorinah
tersebut. Atau jika perintah tersebut terjadi setelah nahi (Larangan) maka
hukumnya adalah mubah.
Dengan demikian hukum dzikir adalah
sunah kalau tidak boleh dikatakan wajib. Orang yang menekuni dzikir berarti dia
menekuni thoriqoh dzikir. Jika ia membaca dzikir sesuai dengan dzikir yang
dibaca oleh Syekh Naqsabandi maka ia disebut pengikut thoriqoh Naqsabandiyah.
Jika ia menekuni dzikir yang dibaca oleh alawiyin maka ia disebut pengikut
thoriqoh alawiyah. Jika wahabi menekuni dzikir yang dibaca Ibn Taimiyah –misalnya-,
maka mereka disebut sebagai pengikut thoriqoh Taimiyah.
Jika ada ustad wahabi yang bilang
bahwa nama thoriqoh naqsabandiyah atau alawiyah adalah bid’ah dan setiap bid’ah
sesat. Setiap kesesatan berada di neraka.
Maka saya katakan kepada mereka: “Gelar
ustad yang anda sandang juga bid’ah. Gelar hajji yang anda sandang juga bid’ah.
Sebab Nabi dan Sahabat tidak menggunakan gelar-gelar tersebut. Tidak ada yang
menyebut Nabi Muhammad dengan gelar ustad Muhammad. Tidak ada yang memanggil
beliau dengan sebutan Hajji Muhammad. Ustad wahabi memakai dua gelar bid’ah
tersebut. Sebagai contoh Ustad Firanda dan Hajji Mahrus Ali. Apakah kalian
sebut keduanya sebagai pelaku bid’ah? Apakah keduanya sesat? apakah keduanya
masuk neraka? Jawab wahai wahabiyun!!!”
Refrensi:
1.
Kiamat Mendekat, Edisi terjemahan, hlm 101.
2.
HR. Bukhori 1:121
3.
Mu’jam Mufrodati Alfazhil Quran, hlm. 339
4.
ibid. 562
5.
Kamus Munawir, hlm. 1468
6.
Muroqil Ubudiyah, hlm. 4
7.
Tafsir Ibn Katsir Juz 2 hlm 275
8.
Muroqil Ubudiyah, hlm. 5
0 comments:
Post a Comment
Silahkan bertanya di kolom komentar di bawah ini