Al-Mulk: 10
وقالوا
لو كنا نسمع أو نعقل ما كنا فى أصحاب السعير
Artinya: “Sekiranya
kami mendengarkan dan menggunakan akal niscaya tidaklah kami termasuk penghuni
neraka yang menyala-nyala.”
Al-Mulk: 10
menjelaskan bahwa orang yang tidak mendengarkan dan tidak menggunakan akalnya
untuk memahami apa yang ia dengar adalah ahli neraka. Mafhum Mukholafahnya, jika ada orang yang
mendengarkan kemudian memahaminya menggunakan akal, maka ia akan selamat.
Wahabi seperti
Aliran Hasyawiyah yang hanya mendengarkan tanpa memahami menggunakan akal. Sehingga
ketika ada orang yang memahami teks dalil menggunakan akal langsung mereka
klaim sebagai aliran sesat. Sebaliknya, syiah 12 seperti mu’tazilah yang hanya
menggunakan akal. Sedangkan ulama Asy’ariyah menggunakan keduanya. Mereka
menggabungkan antara apa yang mereka dengar (Al-Qur’an, Hadits, Pendapat
sahabat, tabi’in, muhadits serta pendapat Imam Ahmad) dan akal. Dengan kata
lain mereka menggunakan akal untuk memahami apa yang mereka dengar.
Mengenai hal
ini, salah satu Ulama Asya’iroh, hujatul islam Imam Ghozali berkata: “Kaum
Hasyawiyah berasumsi wajibnya beku terhadap taklid dan mengikuti makna-makna
literal. Hal itu bersumber dari nalar mereka yang lemah dan wawasan mereka yang
sedikit. Sedangkan kaum filosof dan mu’tazilah berlebih-lebihan dalam menggunakan
akal sehingga berlawanan dengan dalil-dalil syara’ yang qoth’i.
Kelompok
pertama cendrung ekstrim sedangkan kelompok kedua cendrung sembrono. Keduanya
jauh dari sikap yang bijaksana dan berhati-hati. Justru yang menjadi kaidah
keyakinan adalah sikap moderat dan mengikuti jalan yang lurus.
Orang yang
merasa puas dengan hanya bertaklid kepada teks-teks hadits namun mengingkari
metodologi penelitian dan nalar tidak mungkin menemukan jalan kebenaran. Sebab
syara’ bersandar terhadap sabda Nabi SAW sedangkan argumentasi rasional adalah
satu-satunya sarana yang dapat membuktikan kebenaran sabda Nabi SAW dalam apa
yang beliau sampaikan. Sedangkan orang yang hanya mengikuti akal dan tidak
mengikuti petunjuk cahaya syara’, juga tidak mungkin memperoleh petunjuk menuju
kebenaran. Sebab ia hanya berpegang pada akal yang diliputi oleh kelemahan dan
keterbatasan.” (Abu Hamid Al-Ghozali, Al-Iqtishod Fil I’tiqod, hlm. 21 edisi
muwafaq Fauzi Al-Jabr, dengan disederhanakan).
Walhasil
penggunaan akal dalam madzhab asy’ari adalah untuk memahami teks al-qur’an atau
hadits sebagaimana yang diperintahkan oleh al-qur’an. Namun kecupetan dan
kekerdilan pemikiran Firanda –sebab ia tidak bisa menggunakan akalnya- tidak
mampu memahami penggunaan akal dalam madzhab asy’ari. Dengan berdasarkan
kecupetan berfikir ini, ia memfitnah madzhab asy’ari lebih mendahulukan akal
ketimbang dalil. Maha Suci Engkau Ya Alloh, ucapan Firanda adalah kedustaan
yang sangat besar.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan bertanya di kolom komentar di bawah ini