Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Saturday, May 18, 2013

BUROQ


Malam ini saya ingin menulis artikel terkait isro’ mi’roj yang dialami oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. Isro’ mi’roj tersusun dari dua kata arab; isro’ dan mi’roj. Isro’ adalah perjalanan dimalam hari dari Masjidil Harom ke Masjidil Aqsho. Sedangkan mi’roj -yang berarti naik- adalah perjalanan dari Masjidil Aqsho menuju sidrotul muntaha. Sidrotul muntaha sendiri merupakan ujung dari segala mahluk. Jika seluruh mahluk diumpamakan sebagai bangunan bertingkat maka sidrotul muntaha adalah lantai teratas.

Dalam menanggapi kejadian spektakuler itu manusia terbagi menjadi dua. Ada yang percaya dan ada yang tidak. Sejak dari zaman Nabi hingga sekarang selalu saja begitu. Abu Bakar Ra merupakan salah satu contoh orang yang percaya yang pada gilirannya beliau mendapat julukan dari Alloh sebagai Ash-shidiq. Artinya orang yang percaya. Sedangkan Abu Jahal merupakan salah satu contoh yang tidak percaya terhadap kejadian itu.

Saya adalah salah satu dari miliyaran orang yang percaya. Namun saya memiliki teman yang tidak percaya. Ia adalah teman SD sekaligus mitra saat cerdas cermat bidang matematika antar SD se-kecamatan Pringsewu. Setelah lulus dari SMU ia mendapatkan beasiswa kuliah di Eropa dan mengambil jurusan kimia. Sejak kuliah di Eropa ia mulai tidak percaya terhadap kejadian isro’ mi’roj. Alasannya adalah kejadian itu tidak masuk akal.

Bagaimana mungkin Nabi Muhammad dapat melakukan perjalanan dengan jarak tempuh ribuan kilometer hanya dalam waktu sekejap? Dengan apa ia melakukan hal itu? Lebih dari itu -lanjutnya- diluar batas atmosfir terdapat gas beracun yang seandainya dihirup oleh manusia niscaya ia akan mati seketika. Jika Nabi Muhammad benar-benar melakukan perjalanan itu niscaya ia telah mati. Begitu katanya.

Artikel ini sengaja saya tulis untuk menjelaskan -hususnya- kepada teman saya dan - umumnya kepada mereka yang tidak percaya terhadap kejadian tersebut. Oleh karena itu subtansi artikel ini adalah merupakan jawaban atas tiga pertanyaan yang diajukan oelh teman saya. Dengan apa Nabi Muhammad SAW melakukan isro’ mi’roj? Mungkinkah jarak ribuan kilo dapat ditempuh hanya dalam waktu sekejap? Mungkinkah beliau dapat selamat dari gas beracun yang berada diluar batas atmosfir?


1. Dengan Apa Nabi Muhammad SAW Melakukan Isro’ Mi’roj?

Buroq adalah kendaraan yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam kamus munawir, buroq diartikan sebagai Fars mujanah (Kuda bersayap)1. Ia lebih tinggi dari himar dan lebih rendah dari baghol.2  Di sini kita tidak akan membahas masalah bentuk, tetapi kita akan membahas kecepatannya dengan melihat arti kata buroq itu sendiri.

Buroq berasal dari gerund  بروقاatau  برقاkemudian digunakan sebagai nama benda mengikuti wazan فعال sehingga menjadi براق yang artinya kilat. Setiap hal yang berkilat disebut Baariq.3 Dapat dipahami mengapa kendaraan yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW disebut buroq? Sebab ia memiliki kecepatan kilat. Dengan kata lain ia memiliki kecepatan cahaya yaitu ±300.000 km/detik.

Kepahaman seperti ini sesuai dengan riwayat dalam Tafsir Ibn Katsir yang menjelaskan tentang kecepatan buroq yaitu sejauh mata melihat. Seperti ketika kita menggunakan senter. Kecepatan cahaya senter adalah sejauh pandangan mata. Jadi dengan apa Nabi Muhammad SAW melakukan isro’ mi’roj? Jawabannya adalah beliau melakukannya menggunakan sebuah kendaraan bernama buroq yang memiliki kecepatan cahaya.

2. Mungkinkah Jarak Ribuan Kilo Dapat Ditempuh Dalam Waktu Sekejap?

Sampai saat ini -selain buroq- tidak ada kendaraan berkecepatan cahaya. Sehingga orang-orang menganggap “mustahil” jarak ribuan kilo dapat ditempuh dalam waktu sekejap. Akan tetapi kemustahilan itu tidak akan terjadi manakala ada kendaraan yang memiliki kecepatan cahaya.

Buroq memiliki kecepatan cahaya. Ia mampu menempuh jarak 300.000 km dalam satu detik. Suatu kecepatan yang sangat luar biasa. Maka merupakan suatu hal yang sangat masuk akal jika Nabi Muhammad SAW mampu menempuh jarak ribuan kilo hanya dalam waktu sekejap. Ini bukan sihir dan juga bukan sulap. Melainkan fakta. Kita dapat membuktikannya secara ilmiyah menggunakan ilmu matematika dan fisika.

a. Bukti Matematis
Perjalanan isro’ mi’roj dimulai dari pertengahan malam hingga sebelum subuh. Saya tidak tahu secara pasti berapa jam waktu yang dibutuhan. Namun saya pernah mendengar keterangan dari guru saya bahwa kejadian itu hanya membutuhkan waktu sa’atan. Kebanyakan santri memaknai kata sa’atan sebagai waktu satu jam. Jadi katakanlah kejadian itu hanya membutuhkan waktu satu jam atau 3600 detik.

Jarak antara Masjidil Harom dan Masjidil Aqsho adalah sekitar 1233 km. Maka dengan kecepatan cahaya (300.000 km/detik) buroq mampu menempuh jarak tersebut tidak sampai satu detik. Dengan demikian ia masih memiliki waktu lebih dari 3599 detik untuk melakukan mi’roj dan segala kegiatan yang dilakukan oleh Nabi pada saat itu.

Tetapi kita tidak bisa membuktikannya secara matematis sebab kita tidak memiliki data mengenai jarak yang ditempuh saat mi’roj. Oleh karena itu kita akan membuktikannya secara fisika dengan meminjam hasil temuan Albert Einstein tentang teori relativitas.

b. Relativitas

Meskipun teori ini masih dalam perdebatan dikalangan ilmuwan namun setidaknya sebagian ilmuwan ada yang telah membuktikan kebenarannya. Studi tentang sinar kosmis adalah merupakan pembuktian kebenaran teori ini. Didapati bahwa di antara partikel-partikel sinar kosmis yang utama dengan inti-inti atom nitrogen dan oksigen di lapisan atmosfer atas, jauh ribuan meter di atas permukaan bumi, yaitu partikel Mu Meson (Muon), itu dapat mencapai permukaan bumi.

Padahal muon ini memiliki paruh waktu sebesar dua mikro detik yang artinya dalam dua per juta detik, setengah dari masa muon tersebut akan meleleh menjadi electron. Dan dalam jangka waktu dua perjuta detik, satu partikel yang bergerak dengan kecepatan cahaya sekalipun paling-paling hanya dapat mencapai jarak 600 m. Padahal jarak ketinggian atmosfer dimana muon terbentuk, dari permukaan bumi adalah 20.000 m yang mana dengan kecepatan cahaya dapat dicapai dalam jangka minimal 66 mikro detik.

Lalu bagaimana muon dapat melewati kemustahilan itu? ternyata selama bergerak dengan kecepatannya yang sangat tinggi -mendekati kecepatan cahaya- partikel muon mengalami efek sebagaimana diterangkan teori relativitas yaitu perlambatan waktu.
Teori relativitas membahas mengenai struktur ruang dan waktu serta mengenai hal-hal yang berhubungan dengan gravitasi.

Diterangkan bahwa perbandingan nilai kecepatan suatu benda dengan kecepatan cahaya akan berpengaruh pada keadaan benda tersebut. Semakin dekat nilai kecepatan suatu benda dengan kecepatan cahaya maka semakin besar efek yang dialaminya yaitu perlambatan waktu. Ketika kecepatan benda menyamai kecepatan cahaya, maka benda itupun sampai pada satu keadaan nol. Dan jika kecepatan benda itu melebehi kecepatan cahaya maka keadaan akan berubah. Efek yang dialami bukan lagi perlambatan waktu namun sebaliknya waktu menjadi mundur.

Buroq memiliki kecepatan cahaya sehingga saat isro’ mi’roj, Nabi Muhammad SAW berada pada titik nol. Artinya beliau tidak terpengaruhi oleh ruang waktu. Maka merupakan suatu kesalahan jika pengalaman yang spektakuler itu dikatakan tidak masuk akal. Kemustahilan itu hanya bagi mereka yang berada dalam ruang waktu dan yang terpengaruhi oleh waktu. Tetapi tidak bagi mereka yang menaiki kendaraan dengan kecepatan cahaya.

Jadi, mungkinkah jarak ribuan mil dapat ditempuh dalam waktu sekejap? Jawabannya adalah “mungkin” jika jarak itu ditempuh menggunakan kendaran dengan kecepatan cahaya, dan Nabi Muhammad SAW melakukan isro’ mi’roj menggunakan kendaraan berkecepatan cahaya.

3. Mungkinkah Nabi Muhammad Dapat Selamat Dari Gas Beracun Yang Berada Di Luar Batas Atmosfer?

Sebenarnya keterangan dari para Kyai dan Ulama sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kata mereka hal itu sangat mungkin. Sebab dalam perjalanan itu Nabi Muhammad SAW tidak melakukannya dengan keinginannya sendiri. Melainkan beliau diundang oleh Alloh SWT. Perjalanan itu atas izin Alloh sehingga Alloh mempersiapkan segala sesuatunya agar perjalanan itu sukses dengan waktu sekejap tanpa ada halangan yang menghabat perjalanan itu, termasuk gangguan gas beracun.

Alloh mampu membuat gas itu beracun. Tentu saja Dia mampu menetralisir racun tersebut ketika Nabi Muhammad SAW melewatinya. Meskipun Nabi menghirup gas tersebut beliau tidak akan mati. Begitu keterangan para Kyai dan Ulama. Saya percaya dan puas terhadap keterangan yang mereka berikan. Tapi ternyata keterangan itu belum memuaskan orang-orang yang ingkar.

Apapun itu yang jelas kita semua tahu perjalanan itu menggunakan kendaraan berkecepatan cahaya. Kita tidak bisa merasakan bagaimana kecepatan kendaraan itu. Namun kita dapat memikirkannya. Kita dapat melihatnya dengan menggunakan senter. Kita arahkan senter ke suatu arah kemudian kita nyalakan senter tersebut. Maka cahayanya akan sampai ke jarak yang sangat jauh dalam waktu sekejap. Bayangkan seandainya kita menaiki kendaraan dengan kecepatan seperti itu. Mungkinkah kita memiliki kesempatan untuk menghirup aroma yang kita lewati? Jawabannya adalah “Tidak Mungkin.”

Maka mungkinkah Nabi Muhammad SAW dapat selamat dari gas beracun yang berada diluar batas atmosfer? Jawabannya adalah “mungkin” dan ini sangat masuk akal. Sebab beliau menggunakan kendaraan berkecepatan cahaya. Mustahil beliau sempat menghirup gas beracun yang ada di luar batas atmosfer. Oleh karena itu wajar saja bila beliau tidak mati.

4. Kesimpulan

Sebagaimana yang telah tampak secara nyata bahwa kejadian spektakuler yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW saat isro’ mi’roj adalah benar-benar terjadi dan sangat masuk akal. Sebab perjalanan itu menggunakan kendaraan berkecepatan cahaya yang dapat menempuh jarak ribuan kilo dalam waktu sekejap. Lebih dari itu suatu benda yang telah mencapai kecepatan cahaya akan berada pada titik nol. Artinya ia tidak berada didalam ruang waktu sehingga ia tidak terpengaruhi oleh waktu.

Maka merupakan suatu hal yang sangat saintifis dan objektif manakala kita menerima kebenaran kejadian spektakuler itu meskipun sampai saat ini manusia belum mampu menciptakan kendaraan berkecepatan cahaya. Sangat tidak ilmiyah jika ketidak mampuan ini dijadikan sebagai alasan untuk menolak adanya kendaraan berkecepatan cahaya seperti buroq kemudian perjalanan isro’ mi’roj disebut tidak masuk akal.

Justru kejadian itu merupakan bukti bahwa kekuatan Tuhan di atas segalanya sekalipun orang-orang atheis tidak mempercayai adanya Tuhan. Tidak peduli bagaimana kebencian mereka terhadap Tuhan. Sebab sain tidak berdiri atas kebencian melainkan atas objektifitas. Jika objektifitas telah hilang maka runtuhlah sain sebagaimana ideology atheis yang pasti runtuh dan hancur lebur dengan Kekuatan Tuhan. Wallohu a’lam.

Refrensi:
1. Kamus Munawir. Hlm. 77
2. Nurul Yaqin. Hlm. 69
3. Mu’jam Mufrodati Al-Fazhil Qur’an hlm 53
4. Tafsir Ibn Katsir. Juz 3 hlm. 3

Friday, May 17, 2013

Kebohongan Wahabi Atas Kitab Ibn Katsir


Sekali lagi kita temukan Bukti Kebohongan Wahabi. Dalam suatu dialog membahas apakah pahala yang dikirim kepada mayyit akan sampai, wahabi melakukan kebohongan atas kitab Ibn Katsir, sebagai berikut.

 عَنْ عاَ ئِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَ تَى النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه وسلِّم فَقَالَ , يَا رَسُولَ الله إِنَّ اُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُـهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم, 1672 )

Dari 'Aisyah-radhiyallahu 'anha, "Seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, "Ibu saya meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga jika ia dapat berwasiat, tentu ia akan berwasiat untuk bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya? "Nabi SAW menjawab, "Ya"." (HR. Muslim, 1672)

Dengan sangat jelas hadits di atas menyatakan bahwa pahala yang dikirimkan ke mayyit akan sampai. Namun, wahabi yang sok nyunah ternyata tidak mau menerima penjelasan Rosululloh SAW tersebut kemudian menukil (kalo tidak boleh dikatakan copi paste) keterangan Ibn Katsir dalam tafsirnya. Namun, ada kalimat yang disensor oleh wahabi sehingga mengesankan bahwa pahala yang dikirimkan kepada mayyit tidak sah. Berikut hasil copasan wahabi:

Yasmin Al Madhi Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-’Adzim menjelaskan (ketika menafsirkan ayat 39 dari surat an-Najm):

أيْ كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ؛ كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأجْرِ إِلاَّ مَا كَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الْكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ (رَحِمَهُ اللهُ) وَمَنِ اتَّبَعَهُ, أنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى لأَِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلاَ كَسْبِهِمْ. وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ SAW أُمَّتَهُ وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أرْشَدَهُمْ إلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إيْمَاءٍ, وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ y, وَلَوْكَانَ خَيْرًا لَسَبُقُوْنَا إلَيْهِ. وَبَابُ الْقُرُبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بأَنْوَاعِ اْلأقْيِسَةِ وَاْلآرَاءِ.


“Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak akan menimpa orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan ulama-ulama yang mengikutinya, mengambil kesimpulan bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak akan sampai , karena bukan dari hasil usahanya sendiri.

Oleh karena itu Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau amalan semacam itu memang baik, tentu mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya.

Dan amalan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah SWT) hanya terbatas dengan yang ada nash-nashnya (dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah) saja, serta tidak boleh di’otak-atik’ dengan berbagai macam qiyas (analogi) dan ra’yu (rasio)” [8].

Berikut Screen shotnya:

Kalimat yang disensor oleh wahabi adalah sebagai berikut:
فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع علي وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما
Artinya: “Adapun doa dan shodaqoh, maka hal itu telah disepakati atas sampainya dan merupakan nas dari syari’at atas keduanya.”

Berikut screen teks kitabnya:

Kalimat yg digaris bawahi dengan tinta merah adalah kalimat yang dipotong oleh wahabi

Dengan demikian maka jelas, disamping wahabi hobi berbohong, juga jelas bahwa doa dan shodaqoh yang dikirimkan kepada orang yang meninggal akan sampai. Wallohu a'lam.

Wednesday, May 15, 2013

Dalil Tahlilan

Kesalahan mendasar bagi orang wahabi dan yang sejenisnya, yang hobi membid’ahkan tahlilan adalah pada kenyataannya mereka sendiri tidak tahu menahu tentang apa itu tahlilan dan apa saja yang dibaca saat tahlilan. Mereka secara diam-diam berhayal dan membuat suatu tebakan bahwa tahlilan adalah merupakan perayaan kematian dengan mendatangi rumah kematian untuk menyantap makanan dan minuman. Inilah alasan mereka membid’ahkan tahlilan.

Sebagian yang lain ada yang telah mengetahui apa itu tahlilan dan apa saja yang dibaca saat tahlilan.  Mereka mengakui bahwa bacaan yang dibaca saat tahlilan tidaklah bid’ah. Mereka tidaklah membid’ahkan membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh).

Mereka secara diam-diam melakukan analisa secara parsial (Juziyah) kemudian menjadikan hasil analisa tersebut untuk menghukumi tahlilan secara universal (Kuliyah). Di suatu daerah, mereka melihat bahwa orang yang mengamalkan tahlilan menghususkan waktunya pada hari ke 3, 7, 40, 100 setelah kematian kemudian mereka menebak bahwa ini merupakan penghususan waktu pelaksanaan tahlilan. Penghususan waktu pelaksanaan inilah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk membid’ahkan tahlilan.

Sebagian yang lain ada yang telah mengetahui bahwa waktu pelaksanaan tahlilan tidak dihususkan. Hal ini telah mereka buktikan bahwa pelaksanaannya tidak hanya pada hari ke 3, 7, 40, 100 setelah kematian. Di daerah lain tahlilan juga dilaksanakan pada selain hari-hari tersebut. Namun mereka melihat bahwa pahala bacaan tahlilan dikirimkan untuk orang-orang yang telah mati. Menurut mereka, pengiriman pahala semacam ini tidak ada dalilnya dan tidak bermanfaat. Oleh karena itu mereka membid’ahkan tahlilan.

Jika anda berdialog dengan orang wahabi dan yang sejenisnya, maka alasan mereka membid’ahkan tahlilan tidak akan lepas dari tiga alasan tersebut. Pertama-tama, mereka akan mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah secara mutlak sebab tidak ada dalilnya. Jika anda menemui orang yang seperti itu, maka yang perlu anda lakukan adalah menunjukan teks bacaan yang dibaca saat tahlilan. Kemudian, tanyakan kepada mereka, dari teks tersebut, bacaan mana yang bid’ah?

Jika hal itu anda lakukan, maka wahabi akan mengelak dan mengatakan bahwa yang mereka bid’ahkan bukan bacaannya, melainkan penghususan waktunya. Dalam hayalan wahabi, waku pelaksanaan tahlilan itu dihususkan hanya pada hari ke 3, 7, 40, 100 setelah kematian. Bagi mereka penghususan waktu pelaksanaan suatu ibadah harus dari syari’at.

Jika anda menemui wahabi yang seperti ini, maka yang harus anda lakukan adalah menunjukan waktu pelaksanaan tahlilan disetiap daerah untuk membuktikan bahwa waktu pelaksanaan tahlilan tidak dihususkan pada hari ke 3, 7, 40, 100 setelah kematian.

Jika anda melakukan hal itu, maka wahabi akan mengelak lagi dan mengatakan bahwa yang mereka bid’ahkan adalah pengiriman pahala bacaan kepada orang mati. Mereka akan mengajukan berbagai dalil bahwa hal itu tidak bermanfaat.

Jika anda bertemu dengan wahabi semacam ini, maka yang perlu anda lakukan adalah menjelaskan bahwa tahlilan bukan mengirim pahala kepada orang yang telah mati. Yang namanya tahlilan adalah sebuah kegiatan dengan membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh).

Namun karena ada dalil yang menunjukan bahwa amal orang yang hidup dapat memberi manfaat bagi orang yang telah mati, maka pahala tahlilan kita kirimkan kepada mereka. Dalil-dalil itu diambil dari ayat qur’an, hadits, dan pendapat-pendapat ulama, sebagai berikut:


1. Dalil Dari Al-Qur’an.

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ  [الحشر/10]

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo'a, "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang yang wafat mendahului kami  dengan membawa iman. Dan janganlah Engkau memberikan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al-Hasyr: 10)

2. Dalil Dari Hadits.

عَنْ عاَ ئِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَ تَى النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه وسلِّم فَقَالَ , يَا رَسُولَ الله إِنَّ اُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُـهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم, 1672 )

"Dari 'Aisyah-radhiyallahu 'anha, "Seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, "Ibu saya meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga jika ia dapat berwasiat, tentu ia akan berwasiat untuk bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya? "Nabi SAW menjawab, "Ya"." (HR. Muslim, [1672])

Biasanya orang wahabi akan mengatakan bahwa dua dalil di atas bertentangan dengan Surat AN-Najm; 39 yang menyatakan bahwa manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakan. Jadi pahala tahlil tidak bermanfaat bagi mayyit.

Ucapan wahabi tersebut telah dibantah oleh Dr. Muhammad Bakar Ismail dengan menukil penjelasan Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (Panutan Wahabi), sebagai berikut:
وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِي سُوْرَةِ النَّجْمِ: ﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى﴾. فَاِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ, فَلَوْلَا اَنَّهُ كَانَ بَارًا بِـهِمْ فِي حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّـمُوا عَلَيْهِ وَلاَ تَطَوَّعُوا مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ فِي الْـحَقِيْقَة ثَـمْرَةٌ مِنِ ثِـمَارِ بِرّهِ وَاِحْسَانِهِ

Artinya: “Dalil-dalil tersebut tidak bertentangan dengan ayat yang artinya: Bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. Al-Najm, 39)

“Sesungguhnya hadiah pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri karena seandainya jika ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya.

Karena itu, sejatinya apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (al-Fiqh al-Wadlih, juz 1, hal. 449).

3. Pendapat Ulama.

a. Pendapat Al-Qurthubi.

قَالَ الْإِمَامُ الْقُرْطُبِيُّ رَحِمَهُ اللهُ, وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُصُوْلِ ثَوَابِ الصَّدَقَةِ لِلأَمْوَاتِ فَكَذَلِكَ الْقَوْلُ فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَالدُّعَاءِ وَالْإِسْتِغْفَارِ إِذْ كُلٌّ صَدَقَةٌ بِدَلِيْلِ قَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ (رَوَاهُ الْبُخَارِي وَالْمُسْلِم) فَلَمْ يُخَصَّ الصَّدَقَةُ بِالْمَالِ (مختصر تذكرة القرطبي: 25)

Imam Al-Qurthubi berkata, Para Ulama telah sepakat mengenai sampainya pahala sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan al-qur’an, doa dan istighfar, karena semua itu adalah sedekah. Sebagaimana sabda Rasulullah “setiap kebaikan adalah sedekah”(HR. Bukhari dan Muslim) Nabi r tidak mengkhususkan sedekah itu hanya berupa harta benda saja (namun juga bisa berupa bacaan al-quran, doa, dan istighfar dan lain sebagainya). (Mukhtashar Tadzkirah Al-Qurthubi, 25)

b. Ibn Qoyyim.

فَأَفْضَلُ مَايُهْدَى إِلَى اْلمَيِّتِ الْعِتْقُ وَالصَّدَقَةُ وَالَإِسْتِغْفَارُلَهُ وَالدُّعَاءُ لَهُ وَاْلحَجُّ عَنْهُ وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْاَنِ وَإِهْدَاءُ هَا لَهُ تَطَوُّعًا بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ إِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْـحَجِّ (اَلْرُوْحُ: 142)

“Sebaik-baiknya amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, do’a, dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur’an secara suka rela (tanpa mengambil upah) yang dihadiahkan kepada mayit, juga sampai padanya. Sebagaimana pahala puasa dan haji” (Al-Ruh, 142)

c. Ibn Taimiyyah.

وَسُئِلَ: عَمَّنْ "هَلَّلَ سَبْعِيْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُوْنُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنَ النَّارِ" حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ؟ أَمْ لاَ؟ وَاِذَا هَلَّلَ الْانْسَانُ وَاَهْدَاهُ إِلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إِلَيْهِ ثَوَابُهُ اَمْ لَا؟ فَأَجَابَ: إِذَا هَلَّلَ الْاِنْسَانُ هَكَذَا: سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْ اَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ. وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَفَعَهُ اللهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَا ضَعِيْفًا. وَاللهُ أَعْلَمُ. (مجموع فتاوى ابن تيمية, 24/323).

“Syaikh Ibn Taimiyyah ditanya, tentang orang yang membaca tahlil 70.000 kali dan dihadiahkan kepada mayit,  agar diselamatkan oleh Allah dari siksa api neraka, apakah hal itu berdasarkan hadits shahih atau tidak? Dan apabila seseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit, apakah pahalanya sampai atau tidak?” Syaikh Ibn Taimiyyah menjawab, “Apabila seseorang membaca tahlil 70.000 kali baik lebih atau kurang, lalu pahalanya dihadiahkan kepada mayit, maka hal tersebut bermanfaat bagi mayit, dan ini bukan hadits shahih dan bukan hadits dha’if. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, juz 24, hal. 323).

Meskipun dalil-dalil sampainya pahala yang dikirimkan kepada mayyit begitu jelas dan telah menjadi kesepakan ulama, namun para ahli bid’ah menolak dalil dan kesepakan tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Ulama panutan wahabi, yakni Ibnu Qoyyim. Katanya:

وَذَهَبَ أَهْلُ اْلبِدَعِ مِنْ أَهْلِ اْلكَلَامِ أَنَّهُ لَايَصِلُ إِلَى اْلمَيْتِ شَىءٌ اَلْبَتَّةَ لَا دُعَاءٌ وَلَا غَيْرُهُ (اَلْرُوْحُ: 117)

“Para ahli bid’ah dari kalangan Ahli Kalam berpendapat bahwa menghadiahkan pahala baik berupa do’a atau lainnya sama sekali tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia ” (Al-Ruh, 117)


Tuesday, May 14, 2013

Bid'ah Ciptaan Ibn Taimiyyah


Bid’ah ciptaan Ibn Taimiyyah adalah cara dan waktu dzikir yang menjadi rutinitasnya sebagaimana yang diceritakan oleh salah satu muridnya sebagaiberikut:

فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. اهـ (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).

Inti dari kisah tersebut adalah setiap selesai sholat shubuh, Ibn Taimiyah berdzikir secara jama’ah. Kebiasaan Ibn Taimiyyah telah maklum. Ia sulit diajak bicara setelah sholat subuh kecuali terpaksa.

Perhatikan kalimat:
مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ
“Di tengah-tengah dzikir itu, Ibn Taimiyyah seringkali menatapkan pandangannya ke langit.”
Apakah saat berdzikir Rosululloh SAW menatapkan pandangan beliau ke langit? Jika iya, silahkan tunjukan dalilnya. Jika tidak berarti apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyyah adalah murni bid’ah yang dia ciptakan?

Perhatikan kalimat:
هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا


Kebiasaan Ibn Taimiyah adalah membaca Fatihah dan mengulang-ulangnya dari fajar hingga matahari naik. Apakah Rosululloh SAW pernah melakukan hal itu? membaca fatihah secara berulang-ulang dari setelah sholat shubuh hingga matahari naik? Jika iya, silahkan tunjukan dalilnya. Jika tidak, berarti itu merupakan bid’ah yang diciptakan oleh Ibn Taimiyyah.

Apakah Ibn Taimiyyah sesat karena telah menciptakan amalan bid’ah? Jawab wahai wahabiyun!!!

Monday, May 13, 2013

Daging Di Pasar, Bagaimana Hukum Memakannya?


Assalamua'laikum,
Bagaimana hukum memakan daging yang dijual di pasar tanpa kita ketahui penyembelihannya apakah membaca basmalah ataukah tidak?? Bagaimana cara menyikapinya. Terimakasih.

Jawab:
Wa ‘alaikum salam.

Sebelum menjawab pertanyaan, ada baiknya kita simpulkan dulu permasalahannya, yakni bagaimana hukum menyembelih tanpa membaca basmalah?

Jika membaca merupakan syarat ke absahan menyembelih, maka sembelihan tanpa membaca basmalah tidak boleh dimakan. Namun jika membaca basamalah bukan syarat sah penyembelihan maka sembelihan itu boleh dimakan.

Dalam kitab Ghoyatut Taqrib dijelaskan bahwa hukum membaca basmalah saat menyembelih adalah sunah. berikut ta’birnya:
ويستحب عند الذبح خمسة أشياء : التسمية...
Ketika menyembelih disunahkan lima hal, yakni membaca basmalah…

Dengan demikian membaca basmalah saat menyembelih bukan syarat penyembelihan. Maka sembelihan tanpa membaca basmalah tetap halal dimakan. Keterangan ini diperkuat oleh penjelasan dalam kitab Tobaqot Asy-Syafi’iyah, sebagai berikut:

فإن الدار إذا كانت دار الإسلام ووجدنا شخصا ليس معه عيار الكفار فإنا نأكل ذبيحته  

“Sesungguhnya suatu daerah jika memang termasuk daerah islam, kemudian kita mendapatkan seseorang yang tidak terdapat pada dirinya tanda-tanda kekafiran, maka kita boleh memakan daging sembelihannya.”

Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa hukum memakan daging yang dijual di pasar adalah halal meskipun saat menyembelih tidak dibacakan basmalah. Sebab hukum membaca basmalah adalah sunah. Wallohu a’lam.

Pujian Sebelum Sholat Fardlu


Assalamualikum..!Minta penjelasan Pujian Sebelum Sholat Fardlu. Matur suwon.

Jawab:
Wa ‘alaikum salam.
Pujian Sebelum Sholat Fardlu adalah membaca sholawat dengan bentuk syair. Terkadang disertai dengan syair-syair berbahasa jawa yang subtansinya berupa pujian kepada Rosululloh, atau nasehat atau do’a.

Biasanya pujian dilakukan antara adzan dan iqomat. Tepatnya setelah sholat sunah qobliyah. Tujuannya adalah untuk menanti kedatangan Imam dan jama’ah lainnya. Maka dari itu, pujian hanya dilakukan ketika Imam belum datang. Jika Imam sudah datang, maka tidak ada pujian.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan Pujian Sebelum Sholat Fardlu adalah untuk menunggu Imam dan jama’ah lainnya dengan bersholawat yang bentuknya berupa syair. Dengan demikian, kita ajukan tiga pertanyaan, Bagaimana hukum menunggu Imam dan jama’ah? Bagaimana hukum bersholawat? Bagaimana hukum Melantunkan Syair?

1. Bagaimana hukum menunggu Imam dan jama’ah?
Menunggu Imam sebelum sholat hukumnya adalah sunah menurut Imam Syafi’I dan  Imam Abu Hanifah sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitabul Fiqhi Ala Madzahibil Arba’ah, sebagai berikut:
يسن للمؤذن أن يجلس بين الأذان والإقامة بقدر ما يحضر الملازمون للصلاة في المسجد
Artinya: “Bagi Muadzin disunahkan duduk diantara adzan dan iqomah sekiranya orang-orang yang istiqomah sholat di masjid datang.”(Kitabul Fiqhi Ala Madzahibil Arba’ah, Juz 1 hlm 294, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah.)

2. Bagaimana Hukum Bersholawat?
Hukum bersholawat adalah sunah kalau tidak boleh dikatakan wajib. Hal ini karena banyaknya perintah agar kita bersholawat. Salah satunya adalah surat Al-Ahzab: 56, 

Melihat keumuman ayat tersebut, maka kita boleh membaca sholawat kapan saja termasuk sebelum sholat fardhu. Dengan demikian Pujian Sebelum Sholat Fardlu dengan melantunkan syair berupa sholawat. termasuk dalam ke umumannya.


3. Bagaimana Hukum Melantunkan Syair?
Sebagian orang ada yang melarang melantunkan syair sholawat dan Pujian Sebelum Sholat Fardlu dengan dalil surat Yasin: 69
وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِى لَهُ إِنْ هُوَ إِلّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِيْن

Ayat tersebut sama sekali tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk melarang Pujian Sebelum Sholat Fardlu. Sebab ayat itu bukan larangan bersyair melainkan bantahan atas tuduhan orang-orang musyrik yang menuduh al-quran sebagai syair dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah penyair sebagaimana yang direkam dalam Ath-Thur: 30.
أَمْ يَقُوْلُوْنَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ ريب المنون
(Abul Qosim Al-Qusyairi, Syaroful Mushthofa, Juz 4, hlm 102)

Untuk memastikan bahwa Yasin: 69 bukan dalil larangan melantunkan syair, saya akan nukilkan sebuah syair karya Ibn Rowahah yang dilantunkan Rosululloh SAW saat perang Khondaq sebagai berikut:
اللهم لولا أنت ما اهتدينا * ولا تصدقنا ولا صلينا
فأنزلن سكينة علينا * وثبت الأقدامنا إن لاقينا
والمشركون قد بغوا علينا * وإن أرادوا فتنة أبينا
(Nurul Yaqin Fi Siroti Sayyidil Mirsalin, hlm 161, cet. Al-Hidayah, Surabaya)

Adapun atsar yang menceritakan bahwa Sayyidina Umar melarang seseorang bersyair sebelum sholat fardhu, atsar tersebut juga tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk melarang Pujian Sebelum Sholat Fardlu. Sebab dalam atsar itu tidak dijelaskan syair apa yang dibaca orang tadi. Kecuali jika dalam atsar tersebut dijelaskan bentuk syairnya berupa sholawat, maka ia bisa dijadikan sebagai dalil.

Adalah suatu hal yang mustahil, jika Sayyidina Umar Ra melarang orang yang bersyair memuji Nabi Muhammad SAW. Sebab beliau sendiri sangat gemar memuji Rosululloh SAW. Dapat dipastikan bahwa syair yang dibaca laki-laki itu, tidak berupa sholawat ataupun pujian terhadap Rosulloh SAW. Maka wajar jika beliau melarang orang itu.

Ada juga yang menggunakan kalam imam syafi’I untuk melarang bersyair tanpa menjelaskan bentuk syair yang beliau larang. Namun yang jelas, Imam Syafi’I tidak pernah melarang syair yang bentuknya pujian terhadap Rosululloh SAW dan Ulama, serta syair nasihat. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya syair-syair karya beliau dalam Diwan Imam Syafi’i.

Keberadaan syair karya Imam Syafi’I tersebut menunjukan bahwa beliau tidak melarang semua syair. Beliau hanya melarang syair yang tidak memiliki faidah. Dengan demikian kalam Imam Syafi’I tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk melarang syair. Apalagi jika syair itu berupa sholawat dan pujian terhadap Rosululloh SAW.

Untuk membuktikan bahwa Imam syafi’I tidak melarang syair, saya akan nukilkan salah satu syair karya beliau, sebagi berikut:
أحب الصالحين ولست منهم * لعلي أن أنال بهم شفاعة
(Diwan Imam Syafi’I, Qofiyah ‘Ain, hlm 66)

Ada juga yang mengatakan bahwa syair dan Pujian Sebelum Sholat Fardlu termasuk tasyabuh bilkufar. Maka dari itu mereka melarangnya.

Menanggapi orang-orang semacam itu saya katakan bahwa Pujian Sebelum Sholat Fardlu bukan tasyabuh bilkufar melainkan menandingi kufar sebagaimana saat mujahid palestina menggunakan senjata produk kufar. Penggunaan ini bukan tasyabuh bilkufar melainkan menandingi kufar. Tasyabuh bilkufar memang dilarang, namun menandingi mereka adalah suatu keharusan.

Oleh karena itu, para Kyai menyuruh kita Pujian Sebelum Sholat Fardlu dengan melantunkan  syair sholawat untuk menunggu kedatangan imam dan jama’ah yang lain, sebab hukumnya adalah sunah. Wallohu a’lam.

Demikianlah penjelasan mengenai Pujian Sebelum Sholat Fardlu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat. Amin. 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates