Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Saturday, May 11, 2013

Wanita Haid Diam Di Dalam Masjid


Assalamu'alaikum, saya mau tanya. Sekarang banyak paham yang memperbolehkan wanita haid masuk kedalam masjid bahkan boleh beristirahat pula di dalamnya. Pertanyaan saya, adakah keterang yang menguatkan hal tersebut? jika ada bagaimana asbabunuzulnya? Terima kasih. Wassalam

Jawab:
Wa ‘alaikum salam.

Dalam hal ini ada dua istilah yang digunakan dalam fiqih. Pertama, Dukhul Masjid atau Uburul Masjid (Lewat di dalam masjid). Kedua, Al-muktsu filmasjid atau muqim filmasjid (Diam di dalam masjid). Mengenai hukum semua itu adalah sebagai berikut:

1. Dukhul Masjid atau Uburul Masjid (Lewat di dalam masjid).

Hukum lewat didalam masjid adalah haram apabila dihawatirkan darah haidh menetes dan mengotori masjid. Jika tidak dihawatirkan maka hukumnya tidak haram, melainkan makruh. dalam kitab Minhajuth Tholibin, Imam Nawawi menjelaskan:

ويحرم به ما حرم بالجنابة وعبور المسجد إن خافت تلويثه
Artinya: “Apa yang diharamkan sebab janabah diharamkan pula sebab haidh, serta (haram) lewat di dalam masjid apabila hawatir darah haidh menetes.” (Minhajuth Tholibin, hlm 19 cet, Darul Fikr)

Keterangan senada juga dijelaskan dalam kitab Fathul Qorib karya Ibn Qosim. Kemudian Syekh Bajuri dalam Hasyiyah Ibn Qosim menjelaskan sebagai berikut:
وقوله : )إن خافت تلويثه( لأنها متى خافت التلويث حرم عليها الدخول وإن لم يوجد التلويث لقلة الدام والمراد بالخوف ما يشمل التوهم فإن لم تخف تلويثه بل أمنته لم يحرم بل يكره لها حينئذ .


Artinya: “Perkataan Ibn Qosim إن خافت تلويثه : sebab apabila wanita yang haidh hawatir darah haidnya menetas maka haram baginya memasuki masjid walaupun ternyata darah tersebut tidak menetes karena sedikit.

Adapun yang dikehendaki dengan hawatir adalah sesuatu yang mengandung dugaan (Indikasi yang melahirkan dugaan darah menetes dan mengotori masjid). Apabila ia tidak hawatir bahkan ia meresa aman maka hukum memasuki masjid maka dalam kondisi seperti ini tidaklah haram memasuki masjid melainkan dimakruhkan baginya.” (Al-Bajuri, juz 1 hlm 173, cet. Darul Fikr).

2. Al-Muktsu Fil Masjid atau Muqim Fil Masjid (Diam/duduk di dalam masjid).

Mengenai hukum diam di dalam masjid bagi wanita haidh ada tiga pendapat. Adapun yang memperbolehkan hanyalah madzhab Dawud Azhohiri. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Juz 1 Hlm 35 dijelaskan sebagai berikut:
(المسئلة الأولى) اختلف العلماء في دخول المسجد للجنب علي ثلاثة أقوال : فقوم منعوا ذلك بإطلاق وهو مذهب مالك وأصحابه وقوم منعوا ذلك إلا لعابر فيه لا مقيم ومنهم الشافعي وقوم أباحوا ذلك للجميع ومنهم داود وأصحابه .

Artinya: (Masalah pertama) para ulama berbeda pendapat mengenai (hukum) masuk masjid bagi orang junub atas tiga pendapat.
Golongan pertama melarang hal itu secara muthlaq. Pendapat ini merupakan pendapat imam Malik dan sagabat-sahabatnya.
Golongan kedua melarang hal itu kecuali hanya( lewat) didalam masjid, bukan diam di dalamnya. Sebagian dari golongan tersebut adalah Imam Syafi’i.
Golongan ke tiga berpendapat bahwa hal itu boleh secara keseluruhan (Baik lewat maupun diam didalam masjid). Pendapat ini merupakan pendapat Dawud Azhohiri dan sahabat-sahabatnya.

Sebenarnya dalil yang digunakan oleh tiga pendapat tersebut sama, yakni An-Nisa’ 43. Mengenai penyebab perbedaan tersebut adalah karena perbedaan dalam memahami dalilnya, sebagai berikut.
An-Nisa’: 43:
يَٓأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٓمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكٰرَى حَتَّٰى تَعْلَمُوا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا إِلّا عَابِرِى سَبِيْلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub kecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi.”

Dalam memahami ayat di atas para ulama berbeda pendapat. Sebagain mengatakan bahwa ayat itu merupakan majaz yang menyimpan kata موضع  dengan demikian yang dimaksud adalah لَا تَقْرَبُوا مَوْضِعَ الصَّلَاة . (Janganlah dekati tempat sholat). Maka kalimat إِلَّا عَابِرِى (Kecualai orang yang lewat) merupakan pengecualian dari nahi (larangan) mendekati tempat sholat. Sebagian yang lain mengatakan bahwa kalimat itu adalah haqiqi. Dengan demikian kalimat عَابِرِى سَبِيْلٍ berarti musafir yang junub dan tidak memiliki air.

Ulama yang memahami bahwa ayat itu merupakan majaz, maka mereka memperbolehkan lewat di dalam masjid. Sedangkan Ulama yang memahami ayat itu sebagai hakiki maka mereka melarang lewat di dalam masjid.

Perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam masalah haidh sama dengan perbedaan mereka dalam maslah junub.

Sebagai catatan:
1. Dalam pertanyaan, penanya mengatakan asbabunuzulnya. Sebenarnya asbabun nuzul merupakan istilah yang husus digunakan dalam sebab turunnya suatu ayat sebagaimana asbabul wurud adalah merupakan istilah yang husus digunakan dalam sebab suatu hadits. Sehingga untuk menyebut sebab perbedaan pendapat dikalangan ulama, tidak boleh menggunakan dua istilah tersebut, melainkan menggunakan istilahnya sendiri yakni sebab khilafiyah atau asbabul ikhtilaf.

2. Meskipun Dawud Azhohiri memperbolehkan namun perlu diingat bahwa pendapatnya adalah dho’if. Tidak boleh digunakan sebagai pegangan. Maka dari itu, hukum diam atau istirahat di dalam masjid adalah haram bagi orang junub dan wanita yang haidh. Wallohu a’lam.

Kontradiksi Dalam Wahabi

Mungkin Kontradiksi Dalam Wahabi telah banyak anda temukan. Di sini saya akan menunjukan satu salah satu bukti Kontradisksi Dalam Wahabi. Dalam sebuah dialog seorang member wahabi bernama Yasmin Al Madhi mengatakan bahwa imam syafii tidak membagi bid'ah menjadi hasanah. Berikut saya copas komen Yasmin:

Yasmin Al Madhi . Beradab dengan sabda Nabi, karena bagaimana pantas bagi kita jika kita telah mendengarkan sabda Nabi ((semua bid'ah itu sesat)) lantas kita mengatakan ((tidak semua bid'ah itu sesat, tapi hanya sebagian bid'ah saja))

Pengklasifikasian seperti ini terkadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk melegalisasikan sebagian bid'ah (padahal para imam yang berpendapat dengan pengkasifikasian bid'ah mereka berlepas diri dari hal ini), yang hal ini mengakibatkan terancunya antara sunnah dan bid'ah

Kedua : Para ulama yang dituduh mendukung bid'ah hasanah (seperti Imam As-Syafii dan Imam Al-Izz bin Abdis Salaam As-Syafi'i) ternyata justru membantah bid'ah-bid'ah yang tersebar di masyarakat yang dinamakan dengan bid'ah hasanah

Namun selanjutnya ia bilang bhwa Imam Syafii mengakui adanya bid'ah hasanah. Berikut saya copas komen Yasmin:
Yasmin Al Madhi Kedua : Kita menafsirkan perkataan Imam As-Syafi'i ini dengan perkataannya yang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Tahdziib Al-Asmaa' wa Al-Lughoot (3/23)

"Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela"(lihat juga manaqib As-Syafi'i 1/469)

Lihatlah Imam As-Syafi'i menyebutkan bahwa bid'ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang menyelisihi.

Berikut screen shotnya:
SS tersebut saya ambil di https://www.facebook.com/qosimibn.aly/posts/461957533878811?notif_t=like



Kontradiksi Wahabi tidak hanya terjadi pada membernya.  Ulama wahabi juga mengalami kontradiksi. Dalam kitab Al-Ibda’ Fi Kamalisy Syar’I Wa khothoril Ibda’, dia berkata:
قوله (كل بدعة ضلالة) كلية عامة شاملة مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم (كل) أفبعد هذه الكلية يصح أن نقسم البدعة إلي أقسام ثلاثة او إلي أقسام خمسة؟ أبدا هذا لايصح . (محمد بن صالح العثيمن, الإبداع في كمال الشرع وخطر الإبتداع  ص 13 )
Artinya: “Sabda Nabi (Semua bid’ah sesat) bersifat global, umum, menyeluruh dan dipagari menggunakan perabot yang paling kuat yaitu “kullu” (seluruh). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah sah.

Kalimat tersebut menunjukan bahwa bid'ah tidak boleh dibagi. Namun selanjutanya ia membagi bid'ah menjadi dua, bid'ah agama dan bid'ah dunia. Katanya:

الأصل في أمور الدنيا الحل فما أبتدع منها فهو حلال إلا أن يدل الدليل علي تحريمه لكن أمور الدين الأصل فيها الحظر فما أبتدع منها فهو حرام بدعة إلا بدليل من الكتاب والسنة علي مشروعيته (العثيمين شرح العقيدة الواسطية ص 639-640 )

“Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia (Bid’ah dunia-red) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama-red) adalah dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecualai ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya.”

Perhatikan kalimat “Jadi, bid’ah dalam urusan-urusan dunia”. Kalimat ini menunjukan bid’ah dunia. Selanjutnya perhatikan kalimat “Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan agama”. Kalimat ini menunjukan bid’ah agama.

Kedua kalimat tersebut memberi kepahaman bahwa menurut Utsaimin bid’ah dibagi menjadi dua; bid’ah dunia dan bid’ah agama. Maka jelas bahwa Ustaimin telah membagi bid’ah.
Itulah sebagian kecil Kontradiksi Dalam Wahabi. Kaidah fiqih mengatakan: Al-Bathil Mutanaqidh. Kebatilan Pasti saling kontradiksi. Saya kira Kontradiksi Dalam Wahabi ini merupakan bukti bahwa wahabi adalah bathil. Wallohu a'lam.

Friday, May 10, 2013

Wahabi Tidak Tahu Kebid’ah-an Tahlilan.


Kesalahan mendasar bagi wahabi yang hobi membid’ahkan amalan tahlilan adalah pada kenyataannya mereka sendiri tidak tahu dimana letak kebid'ah-an tahlilan. Mereka hanya berhayal tentang tahlilan kemudian menyematkan hasil hanyalan tersebut kepada umat islam yang mengamalkan tahlilan. Selanjutanya mereka bilang bahwa Tahlilan adalah bid’ah.

Maka saya kasih tau bagaimana orang tahlilan. Orang tahlilan itu membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh). 

Saya tanya wahabi, dari bacaan yang dibaca orang tahlilan itu, yang bid'ah yang mana? Menurut Wahabi, bacaan2 itu tidak ada yang bid'ah. Yang bid'ah adalah penentuan harinya yakni  ritual pada hari ke 7, 40, 100, 1000 setelah kematian. Berikut Bukti Screen shotnya.
Jika kurang jelas, klick screen shotnya

Menurut hayalan wahabi tahlilan itu sebuah ritual yang diadakan pada hari ke 7, 40, 100, 1000 setelah kematian.  Saya jelaskan kepada Wahabi bahwa waktu tahlilan tidak ditentukan pada hari-hari tersebut. Kita boleh mengamalkan tahlilan kapan saja. Oleh karena waktu tahlilan tidak ditentukan, maka pelaksanaan tahlilan disetiap daerah, berbeda-beda tergantung dengan kesempatan masing-masing individu. Seperti ketika kita membaca al-qur'an.

Seharusnya dengan penjelasan seperti itu wahabi langsung menyadari kesalahannya. Namun karena wahabi tidak mau mencari kebenaran, maka mereka mencoba mengelak dengan mempermasalahkan hal lain, yakni tempat. Berikut screen shotnya:
Jika kurang jelas, klick screen shotnya

Menurut Wahabi, yang bid’ah adalah pelaksanaannya di rumah kematian. Saya jelaskan kepada wahabi bahwa tahlilan tidak harus dilaksanakan di rumah kematian. Terserah kita mau tahlilan di mana saja asal tempatnya suci maka kita boleh tahlilan di tempat tersebut.

Kesimpulannya adalah tahlilan merupakan sebuah amalan dengan membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh). Kita sepakat bahwa bacaan-bacaan itu tidaklah bid’ah.

Mengenai waktu dan tempat pembacaannya tidaklah ditentukan. Jadi kita boleh tahlilan kapan saja. Tidak harus pada hari ke 3, 7, 40 setelah kematian. Tempatnya pun tidak ditentukan. Jadi kita boleh tahlilan dimana saja asal tempat tersebut bersih. Maka apanya yang bid’ah? Wong waktu dan tempat tahlilan tidak ditentukan kok.

Thursday, May 9, 2013

Takbirotul Ihrom


Takbirotul Ihrom merupakan salah satu rukun sholat. Menegtahui tata cara Takbirotul Ihrom sangatlah penting. Sebab jika Takbirotul Ihrom kita salah maka sholat kita tidak sah. Bacaan Takbirotul Ihrom merupakan bacaan yang telah ditentukan lafazhnya, yaitu lafazh الله  dan lafazh أكبر .

Dalam kitab Safinah dijelaskan syarat-syarat Takbirotul Ihrom, sebagai berikut:
Harus dibaca ketika berdiri jika shalat fardhu, Harus dengan bahasa arab, Harus dengan lafadz Jalalah  الله , Harus dengan lafadz “Akbar/ أكبر”, Tertib antara 2 lafadz tersebut yaitu لله أكبر,  Hamzah pada lafadz “Allah/ لله ” tidak boleh dibaca panjang, Ba’ ( ب) pada lafadz “akbaru/ أكبر ” tidak boleh dibaca panjang, Ba’ ( ب) pada lafadz “akbaru/ أكبر ” tidak boleh dibaca tasydid, Sebelum lafadz “Allah/ لله ” tidak boleh ditambah “wa”.

Diantara lafadz “Allah/ لله ” dan “Akbaru/ أكبر ” tidak boleh berhenti lama, Tidak boleh berhenti sebentar, Seluruh huruf-huruf takbiratul Ihram harus bisa didengar oleh telinga di Mushalli sendiri, Lafadz “ لله أكبر ” harus diucapkan ketika menghadap kiblat, Tidak boleh merusak atau mengubah satu huruf dari huruf-huruf takbiratul Ihram, Bila sebagai makmum, takbiratul Ihram harus sesudah Imam.

Sekarang bagaimana jika dua lafazh Takbirotul Ihrom dipisah atau hanya menggunakan satu lafazh saja sebagaimana yang ditanyakan oleh saudara kita berakun ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ :
“Imam di masjid / suro sebelah, jika Takbiratul Ihrom bukan allâhu-akbar, tetapi Allâh-hu akbar atau Allâh saja, sah kah?”

Jawab:
Takbirotul Ihrom seperti itu adalah tidak sah. Sebab tidak memenuhi syarat Takbirotul Ihrom. Wallohu a'lam.

Wakil


Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa lepas dengan yang namanya wakil. Ketika kita memiliki banyak pekerjaan dan mustahil kita melakukannya sendiri, maka tidak ada jalan lain kecuali mencari wakil untuk mengerjakan sebagian pekerjaan kita. Sekarang bagaimana jika orang yang menjadi wakil, melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang kita perintahkan?

Pertanyaan itu memiliki kesamaan dengan pertanyaan yang diajukan oleh ibu Djeng Emprit Nyonya'e, sebagai berikut.
Assalamu 'alaikum
Mohon pencerahanya. Saya ibu rumah tangga. Disela waktu luang saya usaha menjait tas belanja dari karung bekas gandum. Biasanya bahan baku dibeli suami dari pabrik roti. Nah saat ini ada teman seorang sopir menawari karung baru katanya saat kirim kelebihan dan pembeli tidak mau terima. Kalau dikembalikan ke pabrik karung kasihan karyawan yang menaikan nantinya pasti kena sanksi. Apakah barang terebut termasuk barang curian? Terima kasih sebelumya.
wasalammu'alaikum

Jawab:
Wa’alaikum salam.
Terimakasih atas pertanyaannya. Sebelum saya menjawab pertanyaan Ibu, terlebih dahulu saya minta maaf apabila jawaban saya kurang sreg bagi ibu. perlu diketahui bahwa dalam menjawab pertanyaan, saya hanya mengambil pendapat ulama.

Pertama-tama kita ketahui status sopir itu. Statusnya adalah sebagai wakil. Ia wakil dari perusahaan untuk menjual karung. Kewajiban seorang wakil adalah melaksanakan apa yang ia wakilkan. Dalam kasus ini, sopir itu harus menjual karung tersebut kepada pelanggan sebagaimana perintah muwakil (Orang yang mewakilkan).

Dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin dijelaskan:
ويجب علي الوكيل موافقة ما عين له الموكل من زمن ومكان وجنس ثمن وقدره كالأجل والحلول وغيرها .
Artinya:
“Seorang wakil harus (melakukan pekerjaan) sesuai dengan pekerjaan yang telah ditentukan oleh muwakil, (orang yang mewakilkan) baik waktu, tempat, jenis harga, dan ukurannya seperti dihutang atau kontan.” ( Bughyatul Mustarsyidin, hlm 150, Darul Fikr).

Oleh karena sopir itu diperintah untuk menjual kepada pelanggan, maka ia tidak boleh menjual barang tersebut kepada Ibu.

Mengenai apakah barang itu termasuk curian, maka kita lihat dulu, jika sopir itu menjelaskan kepada perusahaan kemudian menyerahkan uang hasil penjualan kepada perusahaan, maka barang itu tidak termasuk barang curian. Namun jika ia tidak menjelaskannya kepada perusahaan dan mengambil hasil penjualan, maka barang itu termasuk barang curian. Wallohu a’lam.

Shalat


Kajian Fathul Qorib bab Sholat.
بسم الله الرحمن الرحيم . قال المؤلف رحمه الله تعالى ونفعنا به وبعلومه في الدارين أمين
الصلاة المفروضة خمس الظهر وأول وقتها زوال وقتها زوال الشمس وآخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد الزوال والعصر وأول وقتها الزيادة على ظل المثل وآخره في الاختيار إلى ظل المثلين وفي الجواز إلى غروب الشمس والمغرب ووقتها واحد وهو غروب الشمس وبمقدار ما يؤذن ويتوضأ ويستر العورة ويقيم الصلاة ويصلي خمس ركعات والعشاء أول وقتها إذا غاب الشفق الأحمر وآخره في الاختيار إلى ثلث الليل وفي الجواز إلى طلوع الفجر الثاني والصبح وأول وقتها طلوع الفجر الثاني وآخره في الاختيار إلى الأسفار وفي الجواز إلى طلوع الشمس.

Artinya: Shalat fardhu (wajib) ada 5 (lima) yaitu:
(a) Shalat Dhuhur. Awal waktunya adalah condongnya matahari sedang akhir waktu dzuhur adalah apabila bayangan benda sama dengan ukuran bendanya.
(b) Shalat Ash`r. Awal waktunya adalah apabila bayangan sama dengan benda lebih sedikit. Akhir waktu Ashar dalam waktu ikhtiyar adalah apabila bayangan benda 2 (dua) kali panjang benda; akhir waktu jawaz adalah sampai terbenamnya matahari.
(c) Shalat maghrib. Awal waktunya adalah terbenamnya matahari (sedang akhir waktunya) adalah setelah selesainya adzan, berwudhu, menutup aurat, mendirikan shalat dan shalat 5 (lima) raka'at.
(d) Shalat Isya'. Awal waktunya adalah apabila terbenamnya sinar merah sedangkan akhirnya untuk waktu ikthiyar adalam sampai 1/3 (sepertiga) malan; untuk waktu jawaz adalah sampai terbitnya fajar yang kedua (shadiq).
(e) Shalat Subuh. Awal waktunya adalah terbitnya fajar kedua (fajar shadiq) sedang akhirnya waktu ikhtiyar adalah sampai isfar (terangnya fajar); akhir waktu jawaz adalah sampai terbitnya matahari.

Penjelasan:
Pembagian waktu shalat fardu, diangkat dari kitab I’anathuth-Thalibin, sebagai berikut:

Dzuhur ada enam bagian waktu ;
1. Waktu FADILAH(UTAMA), yaitu awal waktu kira-kira selama melakukan adzan, wudlu, berpakaian, shalat qobliyah-nya dan makan.
2. Waktu IKHTIAR, yaitu dari selesai waktu padilah meskipun masuk bersamanya sampai tersisa waktu untuk melakukan shalat, hal ini menyamai 
3. Waktu Jawaz yang nanti dijelaskan. Dari pendapat lain Waktu Ikhtiar ialah sampai seperempat atau separuh waktu dzuhur.
4. Waktu JAWAZ, yaitu tersisa waktu cukup melaksanakan shalat.
5. Waktu HARAM, yaitu tersisa waktu tidak cukup melaksanakan shalat.
6. Waktu DARURAT, yaitu akhir waktu yang jika telah hilang larangan shalat dan waktu masih tersisa kira-kira untuk Takbiratul-ikhram atau lebih.

Asar ada tujuh bagian waktu ;
1. Waktu FADILAH(UTAMA), yaitu awal waktu.
2. Waktu IKHTIAR, yaitu waktu padilah sampai terjadi bayang-bayang dua kali lipat dari bendanya setelah tengah hari.
3. Waktu JAWAZ TIDAK MAKRUH, yaitu sampai terjadi mega kuning.
4. Waktu JAWAZ MAKRUH, sampai tersisa waktu cukup melaksanaan shalat.
5. Waktu HARAM, yaitu tersisa waktu tidak cukup untuk melaksanakan shalat.
6. Waktu DARURAT, yaitu akhir waktu yang ketika hilang larangan shalat dan waktu masih tersisa kira-kira untuk Takbiratul-ikhram atau lebih, maka wajib shalat termasuk hal yang dilakukan sebelum shalat, karena itu satu paket shalat.
7. Waktu UDZUR, yaitu waktu dzuhur, ini bagi orang yang melakukan jama’ taqdim.

Magrib ada lima bagian waktu ;
1.   AWAL WAKTU, yaitu mencakup Waktu Fadilah, Waktu ikhtiar dan Waktu jawaz yang tidak makruh
2. Waktu JAWAZ MAKRUH, yaitu tersisa waktu cukup untuk melaksanakan shalat. 
3.  Waktu HARAM, yaitu tersisa waktu yang tidak cukup untuk melaksanakan shalat. 
4.  Waktu DARURAT, yaitu bagi orang yang hilang larangan shalat.
5. Waktu UDZUR, yaitu waktu Isya, ini bagi orang yang melaksanakan jama’ takhir. 

Isya ada tujuh bagian waktu, sama seperti Asar ; 
1.  Waktu PADILAH, yaitu waktu sekedar cukup melaksanakan shalat dan hal yang terkait dengan shalat. 
2. Waktu IKHTIAR, yaitu sampai sepertiga malam.
3.  Waktu JAWAZ TIDAK MAKRUH, yaitu sampai terbit fajar kadzib (dusta). 
4. Waktu JAWAZ MAKRUH, yaitu setelah terbit fajar awal (fajar kadzib) sampai waktu cukup untuk melaksanakan shalat. 
5. Waktu HARAM, yaitu sampai tersisa waktu yang tidak cukup untuk melaksanakan shalat. 
6. Waktu DARURAT, yaitu waktu yang pada saat hilang larangan shalat. 
7. Waktu UDZUR, yaitu waktu magrib, ini bagi orang yang melaksanakan jama’ taqdim.

Subuh ada enam bagian waktu ;
1. Waktu FADILAH, yaitu awal waktu.
2. Waktu IKHTIAR, yaitu sampai terjadi mega kuning.
3. Waktu JAWAZ TIDAK MAKRUH, yaitu tersisa waktu sampai terbit mega merah, sebelum terbit Matahari. 
4. Waktu JAWAZ MAKRUH, yaitu sampai tersisa waktu cukup melaksanakan shalat.
5. Waktu HARAM, yaitu sampai tersisa waktu yang tidak cukup melaksanakan shalat. 
6. Waktu DARURAT, yaitu waktu bagi orang yang hilang larangan shalat.


Demikianlah penjelasan tentang waktu sholat. Untuk lebih mudahnya silahkan lihat jadwal waktu sholat untuk wilayah Indonesia di http://www.jadwalsholat.org/ 

Tuesday, May 7, 2013

Dialog Aswaja VS Wahabi (Tema: Bacaan Tahlilan)


Dialog Aswaja VS Wahabi (Tema Bacaan Tahlilan)

Pada awalnya saya mengajak teman2 aswaja untuk tidak membubarkan acara hazanah ditrans TV, dan acara diradio rodja. Wahabi yang biasa OOT ikut numbrung dan bilang bahwa tahlilan bid’ah. Kemudian saya kasih tau apa yang dibaca saat tahlilan. silahkan cek di sini: https://www.facebook.com/qosimibn.aly/posts/460890257318872?comment_id=3167091&offset=0&total_comments=209&notif_t=feed_comment

Berikut cupilakannya.

Qosim Ibn Aly:
Yosin Kiyasah Khaulah dan Ridho Selian: saya yakin kalian kagak tau apa itu tahlilan. Maka saya kasih tau. Orang tahlilan itu membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh). saya tanya nt, dr bacaan yg dibaca orang tahlilan itu, yg bid'ah yg mana?

Jawaban dari wahabi sebagai berikut.

Ridho Selian :
Pertanya an anda bukan menunjukan anda sebagai aswaja qasim. Dalam diskusi kita kedebpankan kebenaran. Kalo pertanya an anda tentang surat dan ayat bacaan itu jelas2 benar. Tp tahlilan itu bukan sunnah qasim. Sbenarnya di atas dah jelas ada jawaban dari saudara kita. Jadi jelas yang anda anggab baik itu tidk benar karna tdk ada sunnah rasulullah,sahabat,tabi'in dan imam mazhab.

Jadi bacaan surat dan ayat ayat ALLAH itu memang di anjurkan.kalo di tempat rumah kematian itu jelas2 tdk ada sunnah rasul qasim. Artinya agama ini sudah sempurna.bedadengan pemahaman syiah mereka beranggapan rasulullah menyembunyikan ilmu nya. Nauzubilah. Smg kita kita ngak termasuk syiah. Semoga kita tetap sebagai ummad muhammad sesuai dngan tuntunan nya.

Silahkan lihat screen shot.
Jika kurang jelas, silahkan klik screen shotnya

Perhatikan ucapan member wahabi pada kalimat: “Kalo pertanya an anda tentang surat dan ayat bacaan itu jelas2 benar. Tp tahlilan itu bukan sunnah qasim.”

Jadi dalam pandangan wahabi, bacaan tahlil itu benar tapi tahlilan kagak sunah. Dengan kata lain, kalo kita membaca bacaan-bacaan yang benar, maka apa yang kita lakukan tersebut menurut wahabi tidak sunah. Melainkan bid’ah. Alloh yahfazh. Na’udzubillah.

Pertanyaan buat wahabi: apakah kalian pernah membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh).
a. Pernah
b. Belum pernah

Monday, May 6, 2013

Khitan Bagi Perempuan.


Hukum khitan bagi perempuan gimana?

Jawab:
Khitan bagi perempuan hukumnya sunah. Hal ini karena adanya beberapa hadits yang menyهnggung masalah khitan bagi perempuan. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sebagai berikut:
أن النبيsقال الختان سنة للرجال مكرمة للنساء أخرجه أحمد عن أسام

Artinya:   Sesunggunya Nabi Saw pernah bersabda: “khitan itu hukumnya sunah bagi para laki-laki dan kemuliaan bagi para perempuan (HR. Ahmad dari Usamah).

Menurut Imam Suyuthi, status hadits tersebut adalah hasan. Dengan demikian maka hadits tersebut dapat dijadikan sebagai dalil.

Dalam Syarah Muslim Imam Nawawi menjelaskan:
فالختان واجب عند الشافعي وكثير من العلماء و سنة عند مالك وأكثر العلماء وهو عند الشافعي واجب علي الرجال والنساء جميعا

Artinya: Khitan hukumnya wajib menurut Imam Syafi’I dan ulama’ banyak. Sunah menurut Imam Malik dan mayoritas ulama’. Menurut Imam Syafi’I kewajiban khitan itu bagi semua laki-laki dan perempuan. (Shohih Muslim Bisyarhi Imam Nawawi, Juz 3, hlm 147-148)

Demikianlah hukum Khitan Bagi Perempuan. Semoga artikel ini bermanfaat. Amin.

Najis


Kajian Fathul Qorib bab Najis
بسم الله الرحمن الرحيم . قال المؤلف رحمه الله تعالى ونفعنا به وبعلومه في الدارين أمين

Pengetahuan tentang najis sangatlah penting. Hal ini karena syarat sahnya sholat adalah badan, pakaian dan tempat sholat harus suci. Jika salah satu dari ketiganya terkena najis, maka sholat kita tidaklah sah. Demikian pula dengan wudhu. Wudhu kita tidaklah sah jika air yang kita gunakan terkana najis. Maka dari,  itu sudah selayaknya kita mengetahui hal apa saja yang najis serta najis apa saja yang dima’fu.

Bab Najis
(فصل) وكل مائع خرج من السبيلين نجس إلا المني . وغسل جميع الأبوال والأوراث واجب إلا بول الصبى الذي لم يأكل الطعام فإنه يطهر برش الماء عليه . ولا يعفى عن شيء من النجاسات إلا اليسير من الدم والقيح وما لا نفس له سائلة إذا وقع في الإناء ومات فيه فإنه لا ينجسه .  

Artinya:
(Fashl) setiap benda cair yang keluar dari dua jalan (Kemaluan dan dubur) adalah najis, kecuali mani. Membasuh air kencing dan kotoran (Tinja) hukumnya adalah wajib kecuali air kencingnya anak laki-laki yang belum memakan makanan. Sebab kencing tersebut bisa suci dengan memercikan air di atasnya.
Najis tidak dimaafkan kecuali darah dan nanah yang sedikit. Binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir jika masuk pada suatu wadah (yg berisi air) dan mati di dalamnya, tidak menajiskan air tersebut.

Penjelasan:
Telah maklum bahwa hampir setiap hari kita membuang air, baik air besar (berak) atau air kecil (kencing). Status air yang kita buang tersebut adalah najis. Kita wajib membersihkan tempat-tempat yang ternodai oleh keduanya menggunakan air yang suci.

Darah dan nanah statusnya adalah najis. Namun jika jumlahnya sedikit maka ia di ma’fu. Najis ma’fu bukan berarti status najisnya hilang. Tetapi ia tetap najis, hanya saja kenajisannya di maafkan. Dengan demikian ketika kita sholat kemudian pada pakaian atau tempat atau badan kita ada darah atau nanah yang sedikit, ini tidak membatalkan sholat kita.

Adapun standar sedikit dan banyaknya adalah dilihat dari urfnya. Misalnya pada pakaian kita ada darahnya. Secara umum darah tersebut dikatakan sedikit. Maka ia termasuk najis yang dima’fu.
Sebagai catatan: najis darah dan nanah dima’fu hanya dalam sholat. Keduanya tidak dima’fu dalam air. Jadi jika ada air sedikit (kurang dari dua kulah) yang terkena nanah atau darah, baik banyak maupun sedikit, maka status air itu adalah najis.

Ada sebagian hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti nyamuk. Hewan seperti ini ketika masuk kedalam wadah seperti gelas kemudian mati, maka air dalam gelas tersebut tidak menjadi najis. Berbeda dengan hewan yang memiliki darah mengalir seperti kucing. Jika ia masuk kedalam ember kemudian mati, maka air dalam ember tersebut menjadi najis. Wallohu a’lam.

Untuk mengetahui cara mensucikan Najis, dapat dibaca di artikel sebelumnya. Silahkan kunjungi

Bid’ah (Bolehkah dibagi?)


Saya hanya santri. Saya bukan ulama apalagi mujtahid. Saya berusaha memosisikan diri sesuai dengan kemampuan saya. Oleh karena saya tidak mampu berijtihad, maka saya bertaqlid. Dalam masalah pembagian bid’ah, saya bertaqlid kepada ulama mujtahid yang membagi bid’ah. Sebagai contoh adalah Imam Syafi’i. Beliau membagi bid’ah menjadi dua. Maka dari itu saya juga setuju dengan pembagian bid’ah.

Akan tetapi, wahabi yang memang tercipta untuk membuat kericuhan, menyalahkan orang yang bertaqlid. Sehingga mereka menyalahkan pembagian bid’ah. Menurut mereka bid’ah tidak boleh dibagi. Sebab Rosululloh SAW tidak pernah membagi bid’ah. Menurut wahabi, orang yang membagi bid’ah adalah ahli bid’ah yang mempertahankan kebid’ahannya. Hal ini disampaikan oleh hampir semua pengikut manhaj wahabi. Salah satunya adalah Yasmin Al Madhi Al-wahabiyah

Katanya: “Tidak ada bid’ah yang di bagi-bagi. Bid’ah adalah dollallah. Yang berbagi bid’ah adalah ahlil bid’ah yang memang sengaja mempertahankan kebid’ahannya. Rosullollah tidak pernah membagi-bagi bid’ah atau mengatakan bid’ah hasan. Hanya orang-orang yang jahil saja yang muter-muter untuk melinter hadist dan mereka-reka”.

Berikut screen shotnya:  
Jika kurang jelas, klik screen shotnya


Jadi Yasmin Al Madhi Al-wahabiyah melarang pembagian bid’ah.  Maka tema artikel ini adalah tentang Pembagian Bid’ah. Untuk mempermudah dalam memahami, kita buat satu pertanyaan, bolehkah bid’ah dibagi?

Beberapa hari kemudian Yasmin Al Madhi Al-wahabiyah menukil kalam Imam Syafi’I yang membagi bid’ah menjadi dua tanpa mengkritik pembagian tersebut. Ini menunjukan bahwa Wahabi setuju dengan pembagian bid’ah.

Berikut screen shotnya:
Jika kurang jelas, klik screen shotnya


Kita bertanya-tanya, sebenarnya bid’ah boleh dibagi ataukah tidak?  

Ternyata, ulama wahabi yang bernama Utsaimin melakukan pembagian bid’ah. Katanya:
الأصل في أمور الدنيا الحل فما أبتدع منها فهو حلال إلا أن يدل الدليل علي تحريمه لكن أمور الدين الأصل فيها الحظر فما أبتدع منها فهو حرام بدعة إلا بدليل من الكتاب والسنة علي مشروعيته (العثيمين شرح العقيدة الواسطية ص 639-640 )


“Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia (Bid’ah dunia-red) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama-red) adalah dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecualai ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya.”

Perhatikan kalimat “Jadi, bid’ah dalam urusan-urusan dunia”. Kalimat ini menunjukan bid’ah dunia. Selanjutnya perhatikan kalimat “Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan agama”. Kalimat ini menunjukan bid’ah agama. Dapat dipahami bahwa Utsaimin juga membagi bid’ah.

Kesimpulannya bid’ah boleh dibagi. Imam Syafi’I membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Ulama wahabi (Utsaimin-red) juga membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah agama dan bid’ah dunia.

Jadi siapa yang salah? Ulama wahabi –Utsaimin- yang membagi bid’ah? ataukah member wahabi –Yasmin Al Madhi Al-wahabiyah- yang melarang membagi bid’ah? Jawab wahai wahabiyun!!! 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates