Di
ahir artikelnya, Firanda berkata: “Bahkan diantara para imam Asyaa'iroh ada
diantara mereka yang akal mereka menetapkan sifat ketinggian Allah, demikian
juga sifat kedua tangan Allah dan sifat mata Allah. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Abul Hasan al-'Asy'ari dan juga Al-Baaqillaaniy. Lantas akal siapakah yang
diikuti?, apakah akal pendahulu Asyaa'iroh ataukah orang-orang belakangan
mereka seperti Ar-Roozi?”
Tanggapan:
Tidak
hanya sebagian ulama Asya’iroh yang menetapkan sifat ketinggian Alloh, melainkan
seluruh ulama Asya’iroh termasuk Ar-Rozi. Demikian juga sifat Yad Alloh dan
sifat 'Ain Alloh. Mereka semua sepakat bahwa sifat-sifat tersebut memang sifat
Alloh. Namun perlu anda ketahui bahwa dalam memahami ayat dan riwayat tentang
sifat Alloh, madzhab Asya’iroh memiliki dua metode, yakni ta’wil dan tafwidh.
Selanjutnya
Firanda berkata: “Kemudian diantara para imam Asyaa'iroh ada yang berselisih
pendapat tentang takwilan-takwilan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat-sifat
Allah. Ada yang menetapkan takwilan tertentu, sementara yang lain memandang
bahwa takwilan tersebut batil??, dan sebagian yang lain memandang tidak perlu
ditakwil akan tetapi diserahkan kepada ilmu Allah (tafwidh)??!!” (Silahkan
Lihat penjelasan Ibn Taimiyah, tentang contoh-contoh kontradiksi mereka di Majmuu
al-Fataawaa 2/62, 4/50-53, 16/470, Minhaajus Sunnah An-Nabawiyah 3/288, 347,
Dar Ta'aarudl al-'Aqli wa An-Naqli 1/145-155, 193, 4/278-282, 5/243-245, 6/221-222,
7/41-43, al-fatawa al-mishriyah 6/428)
Tanggapan:
Saya
sangat senang jika anda menyertakan refrensi tulisan anda. 4 refrensi yang anda ajukan,
semuanya adalah karya Ibn Taimiyah. Tidak ada satupun refrensi dari kitab ulama
asya’roh. Artinya anda hanya menukil ucapan Ibn Taimiyah. Anda tidak merujuk
secara langsung ke kitab-kitab asya’iroh. Dengan kata lain, anda bertaqlid buta
terhadap Ibn Taimiyah.
Padahal
menurut salah satu ustad wahabi yang mengaku sebagai mantan Kyai NU, Mahrus Ali; orang yang bertaqlid sama dengan yahudi dan nasrani. (Lihat, Mantan Kyai NU
Menggugat Dzikir dan Sholawat Syirik, hlm. 139-150, cet ke-4 th.2007). Dengan
kata lain –menurut Mahrus Aly- Firanda telah tasyabuh bilkufar.
Perbedaan
pendapat dalam menta’wil ayat-ayat sifat telah terjadi sejak generasi salaf
sholih. Sebagai contoh adalah ta’wil lafazh وجاء ربك (Tuhanmu datang) dalam Q.S. 89:22. Ibn
Abbas menta’wilnya dengan perintah dan kepastian Alloh1 sementara
Imam Ahmad menta’wilnya dengan datangnya pahala dari Alloh.2 Demikian
juga ta’wil lafzh استوى dalam 2; 29. Ibn Jarir menta’wil lafazh istawa dengan memiliki
dan menguasai. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauri menta’wilnya dengan berkehendak
menciptakan langit.3
Jadi
perbedaan pendapat dalam penta’wilan yang terjadi dalam madzhab asy’ari adalah
dilatar belakangi oleh perbedaan penta’wilan yang dilakukan oleh salaf sholih.
Jika perbedaan seperti ini anda anggap sebagai kebatilan, maka secara tidak
langsung anda menganggap pendapat ulama salaf adalah batil. Jika demikian
mengapa anda mengaku sebagi pengikut salaf? Apakah karena wahabi adalah aliran
batil?
Penting
anda ketahui wahai Firanda, tujuan ta’wil adalah mensucikan Alloh dari
menyerupai mahluk. Oleh karena itu, meskipun mereka berbeda pendapat dalam
penta’wilan, namun mereka tidak saling membatilkan. Lalu bagaimana anda bisa
mengatakan: “sementara yang lain memandang bahwa takwilan tersebut batil.”
Akan
sangat ilmiyah jika anda menyertakan refrensi dari kitab asy’ari untuk membuktikan
kebenaran ucapan anda tersebut. Tunjukan siapa nama ulama asy’ari yang saling
membatilkan tersebut. Atau bisa jadi anda tidak memiliki refrensinya kemudian
anda anggap perbedaan itu sebagai bentuk saling membatilkan. Jika benar
demikian, berarti bukan mereka yang saling membatilkan, melainkan pemahaman
anda yang batil.
Pada
kalimat terahir Firanda berkata: “sebagian yang lain memandang tidak perlu
ditakwil akan tetapi diserahkan kepada ilmu Allah (tafwidh)”. Tampaknya
anda tidak bisa memahami metode yang digunakan oleh madzhab asy’ari ketika
menghadapi ayat atau riwayat tentang sifat Alloh yang secara literal serupa
dengan mahluk. Metode yang mereka gunakan adalah tafwidh dan ta’wil.
Tafwidh
adalah menyerahkan makna nas terkait sifat (diserahkan) kepada Alloh dengan
tanpa membicarakan masalah tersebut kemudian mengimaninya secara ijmali
(global). Ta’wil adalah mengalihkan makna lafazh yang secara zhohir
menyerupakan Alloh dengan mahluk, kepada makna yang benar sesuai dengan qorinah
atau indikasih lafazh tersebut.
Sebagai
contoh adalah sifat Yadulloh. Secara literal yad berarti tangan. Silahkan anda
lihat tangan anda. Itu adalah yad. Apakah yadulloh sama dengan yad anda? Jelas
tidak sama. Maka dari itu ulama salaf meyerahkan maknanya kepada Alloh.
Yadulloh tidak mereka maknai sebagai tangan Alloh. Mereka hanya mengimani bahwa
Alloh memiliki sifat Yad. Mereka tidak membahas maknanya. Dua metode tersebut
memiliki kesamaan tujuan, yaitu sama-sama tidak menyerupakan Alloh dengan
mahluk.
Dari
kedua metode itu, sebenarnya ulama asy’ari lebih memilih tafwidh. Namun karena
suatu kondisi dimana mereka harus melawan mu’tazilah yang mengingkari sifat
Alloh menggunakan dalil aqli maka ulama madzhab asy’ari terpaksa melakukan
ta’wil untuk menetapkan sifat-sifat Alloh berdasarkan dalil aqli demi
menandingi pemikiran mu’tazilah tersebut. Melihat fakta kegigihan ulama asya’iroh
dalam membela aqidah ahlu sunah wal jama’ah, maka wajar jika salah satu ulama
hanbali menyebut madzhab asy’ari sebagai ahlu sunah waljama’ah. Kata beliau:
أهل السنة والجماعة ثلاث فرق : الأثرية وإمامهم أحمد بن
حنبل . والأشعرية وإمامهم أبو الحسن الأشعرى . والماتريدىةلاوإمامهم أبو
منصور الماتريدي .
Artinya:
“Ahlu sunah waljama’ah adalah tiga golongan, yaitu (1) Al-atsariyah. Imam
mereka adalah Ahmad Bin Hanbal. (2) Asy’ariyah. Imam mereka adalah Abu Hasan
Al-Asy’ari. (3) Maturidiyah. Imam mereka adalah Abu Manshur Al-Maturidi.” (Lawami’ul
Anwar Al-Bahiyah Wa Sawathi’ul Asror Al-Atsariyah, hlm 73)
Itulah
pernyataan Imam As-safarini mengenai Madzhab Asy’ari. Beliau menyatakan bahwa
madzhab Asy’ari adalah termasuk ahlu sunah waljama’ah. Pertanyaannya: Adakah
ulama yang menyatakan bahwa WAHABI YANG DIDIRIKAN OLEH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB,
ATAU WAHABI YANG TAQLID BUTA TERHADAP IBN TAIMIYAH, TERMASUK AHLU SUNAH WAL JAMA’AH?
Jawab wahai wahabiyun!!!
Refrensi:
1.
Madarikut
Tanzil Wa Haqoiqut Ta’wil, juz 4 hlm 387
2.
Al-bidayah
Wan Nihayah juz 10 hlm 361
3.
Jami’ul
Bayan Fi Ta’wilil Quran, juz 21 hlm 314