Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Saturday, April 27, 2013

Kerancuan Manhaj Wahabi III


Pada episode lalu, kita ajukan 3 pertanyaan buat wahabi. Oleh karena tiga pertanyaan terlalu berat bagi wahabi, maka selanjutnya kita perkecil pertanyaannya menjadi dua. Namun ternyata wahabi masih tak bisa menjawabnya. Tidak ada pilahan lain kecuali memperkecil pertanyaan lagi menjadi satu. Akan tetapi, wahabi masih saja tidak mampu menjawab.

Tiga pertanyaan itu telah saya simpan diblog saya. Barang kali 1 tahun mendatang, ada wahabi yang sanggup menjawabnya. Di samping itu, tiga pertanyaan tersebut bisa kita gunakan saat wahabi mempersoalkan amalan-amalan aswaja yang katanya bid’ah sesat. Silahkan dicopas http://goleksurgo.blogspot.com/2013/04/kerancuan-manhaj-wahabi_7822.html 

Kita lupakan episode lalu. Sebab konsep bid’ah model wahabi telah babak belur hanya dengan satu pertanyaan. Selanjutnya kita runtuhkan konsep tersebut dengan dua pertanyaan lagi. Telah sama-sama kita ketahui bahwa wahabi melarang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Namun selanjutnya, justru mereka sendiri yang membagi bid’ah menjadi bid’ah agama dan bid’ah dunia. 

Ketika menjelaskan masalah bid’ah dunia, Utsaimin berkata:
الأصل في أمور الدنيا الحل فما أبتدع منها فهو حلال إلا ان يدل الدليل علي تحريمه.
Artinya:
“Hukum asal perbuatan baru (bid’ah-red) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan dunia itu halal kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya.” (Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyah, hlm. 639-640).

Perhatikan kalimat “kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya.” Kalimat ini menunjukan bahwa dalam bid’ah dunia ada yang diharamkan. Telah maklum bahwa syari’at tidaklah mengharamkan sesuatu kecuali sesuatu itu jelek. Seperti zina. Zina hukumnya haram karena zina adalah perbuatan yang jelek. Dapat dipahami bahwa dalam bid’ah dunia, ada yang hasanah (baik) dan sayyi’ah (jelek).

Pertanyaannya:
1.    Salahkah jika saya membagi bid’ah dunia menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah?
a.       Salah.
b.      Tidak salah.
2.    Jika saya salah, berarti semua bid’ah dunia baik. Jika semua bid’ah dunia baik, berarti Utsaimin salah. Namun jika saya tidak salah, maka apakah saya salah jika membagi bid’ah?
a.       Salah.
b.      Tidak salah.

Friday, April 26, 2013

Kerancuan Manhaj Wahabi II


Anda tahu bahwa wahabi tidak mau membagi bid’ah, sebab kullu bid’ah dholalah. Semua bid’ah sesat. Kata “kullu” bersifat menyeluruh. Dengan demikian, bid’ah tidak boleh dibagi. Begitu kata wahabi. Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan refleksi dari taqlid buta terhadap Utsaimin. Dalam kitab Al-Ibda’ Fi Kamalisy Syar’I Wa khothoril Ibda’, dia berkata:
قوله (كل بدعة ضلالة) كلية عامة شاملة مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم (كل) أفبعد هذه الكلية يصح أن نقسم البدعة إلي أقسام ثلاثة او إلي أقسام خمسة؟ أبدا هذا لايصح . (محمد بن صالح العثيمن, الإبداع في كمال الشرع وخطر الإبتداع  ص 13 )

Artinya: “Sabda Nabi (Semua bid’ah sesat) bersifat global, umum, menyeluruh dan dipagari menggunakan perabot yang paling kuat yaitu “kullu” (seluruh). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah sah.

Keterangan itu dinukil oleh Tim Bahtsul Masa’il PC NU Jember dalam buku “Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat Dan Dzikir Syirik, hlm 81, cet. IV 2008, yang diterbitkan oleh Khalista.” Buku tersebut ditulis untuk menjawab buku yang ditulis oleh ustad wahabi, Mahrus Ali.

Setelah wahabi melarang pembagian bid’ah, justru selanjutnya mereka sendiri yang membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah agama dan bid’ah dunia. Saya ingin menyusun sebuah pertanyaan untuk wahabi agar mereka menanyakannya kepada diri mereka sendiri. Pertanyaan itu saya sesuaikan dengan kemampuan wahabi. Jadi saya buat pertanyaan seperti pertanyaan untuk anak SD kelas 1, sebagai berikut:

1.      Apakah saya boleh membagi bid’ah?
a.       Boleh.
b.      Tidak boleh.

2.      Jika saya tidak boleh membagi bid’ah, maka bolehkah saya membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah agama dan bid’ah dunia?
a.       Boleh.
b.      Tidak boleh.

3.      Jika saya boleh membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah agama dan bid’ah dunia, maka bolehkah saya membagi bid’ah menjadi dua?
a.       Boleh.
b.      Tidak boleh. 


Kerancuan Manhaj Wahabi I


Artikel ini sengaja saya beri judul “Kerancuan Manhaj Wahabi”, karena selama menulis artikel untuk menjawab tuduhan-tudahan wahabi terhadap asya’iroh, saya menemukan beberapa indikasi bahwa wahabi sebenarnya tidak tahu secara pasti alasan mengapa mereka harus memberi label sesat terhadap madzhab asy’ari? Mereka hanya bertaqlid buta terhadap ulama dan ustad wahabi yang sebenarnya tidak memahami ajaran asya’iroh dengan benar.

Padahal bertaqlid buta, menurut Mahrus Ali yang bertaqlid pada Utsaimin adalah merupakan kebiasaan yahudi dan nasrani. Jadi, wahabi melarang orang lain bertaqlid namun mereka sendiri bertaqlid. Ini kerancuan pertama manhaj wahabi.

Oleh karena itu setiap hal yang dituduhkan oleh wahabi terhadap asya’iroh, sama sekali bukan ajaran asya’iroh. Melainkan hanya pemikiran wahabi yang disematkan kepada asya’iroh. Sebagai contoh adalah tuduhan wahabi seputar masalah Zat, sifat dan af’al Alloh serta posisi akal.

Dalam masalah Zat, wahabi menuduh asy’ari menyerupakan Zat Alloh dengan mahluk-Nya. Dalam masalah sifat, wahabi menuduh asy’ari menafikan sifat-sifat Alloh. Dalam masalah af’al, wahabi menuduh asy’ari berpendapat bahwa Alloh sama sekali tidak turut campur atas perbuatan manusia. Dalam masalah akal, wahabi menuduh asy’ari memosisikan akal di atas nas quran dan hadits.

Menanggapi semua tuduhan itu, saya katakan: “Allohumma subhanak! Hadza buhtan  ‘azhim.” (Maha Suci Engkau ya Alloh! Ini adalah kedustaan yang sangat besar).Semua itu bukan ajaran asya’iroh. Melainkan hanya hasil pemikiran wahabi yang rancu yang kemudian disematkan kepada asya’iroh sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam artikel berjudul “Mafahim Yang Harus Di Luruskan

Ada kaidah fiqih yang berbunyi الحكم مع علته (Hukum bersama alasannya). Alasan wahabi menyebut asya’iroh sebagai aliran bid’ah dan sesat telah kita bantah. Seharusnya mereka menarik kembali klaim mereka kemudian meminta maaf kepada asya’iroh karena telah menuduh mereka sebagai aliran yang bid’ah dan sesat.

Namun karena tujuan wahabi bukan mencari kebenaran maka meskipun alasan mereka telah dibantah, mereka tetap saja mencari celah untuk menyalahkan asya’iroh dengan mengangkat alasan lain. Sebagai contoh adalah penggunaan akal. Menurut wahabi –sebagaimana yang dikatakan oleh Firanda- Asya’iroh menjadikan akal sebagai dasar agama. Padahal dalam beragama harus berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Akal sama sekali tidak boleh turut campur.

Melihat alasan tersebut, maka kita jelaskan kepada wahabi bahwa Asya’iroh menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar agama. Mereka tidak menjadikan akal sebagai dasar agama. Penggunaan akal dalam madzhab asy’ari adalah untuk memahami dalil Qur’an dan Hadits. Hal ini mereka lakukan karena Al-Quran sendiri memerintah kita untuk menggunakan akal dalam memahami Al-Qur’an. Dengan kata lain, penggunaan akal untuk memahami Al-Qur’an adalah merupakan bentuk pengamalan terhadap al-Qur’an itu sendiri sebagaimana yang saya jelaskan dalam artikel berjudul “Mafahim Yang Harus Di Luruskan II Seputar Akal.

Saya teringat sebuah lagu dangdut yang saya dengar waktu saya masih kecil. Kira-kira waktu itu saya baru berusia 7 tahun. Kalau tidak salah ingat, lagu itu dinyanyikan oleh Megi. Z. Bunyinya begini: “Terlanjur basah, ya sudah mandi sekali.” Bisa jadi, wahabi menjadikan cuplikan lagu tersebut sebagai dasar agama. Mereka sudah terlanjur menyalahkan asya’iroh, maka meskipun alasan-alasan mereka telah dibantah, tetap saja mereka menyalahkan Asya’iroh.

Mereka terus mencari celah untuk dijadikan sebagai alasan. Seperti masalah ta’wil yang merupakan salah satu metode Asya’iroh ketika menghadapi ayat atau riwayat tentang sifat Alloh yang secara literal serupa dengan mahluk. Wahabi menyebut ta’wil sebagai tahrif atau distorsi kemudian mereka menyamakan Asya’iroh dengan yahudi dan nasrani yang melakukan tahrif.

Kita jelaskan kepada wahabi, bahwa yahudi dan nasrani memang melakukan tahrif. Ini terjadi karena mereka tidak mau melakukan ta’wil terhadap teks taurot dan injil yang secara literal menyerupakan Alloh dengan mahluk sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Qutaibah dalam kitab Ta’wilu Musykilatil qur’an. Semua itu terjadi karena mereka tidak mau melakukan ta’wil.

Ulama salaf yang sholih sangat memahami hal ini. Sehingga sebagian mereka ada yang melakukan ta’wil dan sebagian yang lain menggunakan metode tafwidh. Metode tafwidh dan ta’wil inilah yang digunakan oleh madzhab asy’ari dalam menghadapai ayat atau riwayat tentang sifat Alloh yang secara zhohir serupa dengan mahluk.

Ini menjadi alasan mengapa Al-Hafizh Badruddin Az-Zarkasyi dan Asy-syaukani mengatakan bahwa ahlul hak adalah mereka yang menggunakan metode tafwidh dan ta’wil. Aliran yang tidak mau menggunakan dua metode tersebut adalah aliran bathil sebagaimana yang saya jelaskan dalam artikel berjudul berjudul Mafahim Yang Harus Di Luruskan IV 

Meskipun telah jelas bahwa mereka yang tidak mau menggunakan metode tafwidh dan ta’wil adalah aliran bathil, akan tetapi wahabi tetap nekat dan bersikukuh dalam kebathilan. Wahabi menganggap apa yang mereka lakukan sebagai keteguhan di atas sunah. Kelakuan wahabi ini persis seperti yang disinggung oleh Al-Quran surat Al-Kahfi: 104,
الذين ضل سعيهم في الحياة الدنيا وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang sesat perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”

Semua itu terjadi karena mereka tuli, bisu dan buta sebagaimana yang disinggung dalam Al-Baqoroh:  18,
صم بكم عمى فهم لا يرجعون
Artinya: “Mereka tuli, bisu, dan buta, amak mereka tidak akan kembali (kejalan yang benar)”

Ada yang menarik dari ajaran wahabi yang patut diperhatikan oleh umat islam, yaitu ketika mereka mengambil kesimpulan atas pendapat madzhab asya’iroh bahwa Alloh tidak memiliki tempat. Menurut wahabi jika Alloh tidak memiliki tempat berarti Alloh tidak ada dimana-mana. Hal ini disampaikan oleh seorang member wahabi berakun Dani IskadarKatanya: 
“qosim@ salah satu bukti aqidah aswaja menolak sifat2 ALLAH mereka mengatakan ALLAH ADA TANPA TEMPAT atau dengan kata lain ALLAH TIDAK DI MANA-MANA. padahal begitu jelas ALLAH berfirman ARROHMAAN 'ALAL 'ARSY ISTAWA.” 

Berikut sceer shotnya:

Kita jelaskan kepada wahabi bahwa Alloh tidak memiliki tempat, bukan berarti Alloh tidak ada dimana-mana. Melainkan karena Alloh tidak membutuhkan tempat. Sebab Alloh ada dimana-mana. Jika Alloh berada disuatu tempat berarti Alloh tidak ada dimana-mana. Melainkan hanya ditempat itu.

Pendapat bahwa Alloh ada tanpa tempat, sebenarnya adalah pendapat Imam Aly KW sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Farqu Bainalfiroq, hlm 333.  Kata beliau:
كان الله ولا مكان وهو الأن علي ما عليه كان

Selanjutnya ulama salaf mengikuti pendapat tersebut. Demikian juga ulama asya’iroh. Mereka semua berpendapat bahwa Alloh ada tanpa tempat sebagaimana yang saya jelaskan dalam artikel berjudul “Dialog Aswaja VS Wahabi (Makna Istawa)

Wahabi yang selalu ngaku-ngaku sebagai pengikut salaf ternyata tidak mau menerima fakta tersebut. Mereka tidak mau mengikuti pendapat ulama salaf. Sebaliknya, mereka malah menyalahkan pendapat ulama salaf dan mengatakan bahwa Alloh istiqror (Menetap) di atas Arsy. Wahabi memaknai lafazh istawa dalam surat Thoha : 5 sebagai istiqror (menetap).

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh salah satu member wahabi berakun Dani Iskadar. Katanya: “siapa yang mengartikan istiwa dengan duduk. Dan siapa yang mengatakan ALLAH butuh tempat duduk. Istiwa adalah istiqror. ALLAH berada di atas 'arsy-Nya dan hanya ALLAH. yang mengetahui kaifiyah-Nya.”

Berikut screen shotnya:

Kami, -para laskar aswaja- tidak mempermasalahkan kaifiyah istawa. Yang kami persoalkan adalah pendapat wahabi bahwa makna Istawa adalah istiqror. Alloh Istawa/Istiqror (menetap) di atas arsy. Pertanyaannya: Siapa nama ulama salaf dari kurun sahabat, tabi’in dan tabit tabi’in yang mengatakan bahwa istawa bermakna istiqror?


Thursday, April 25, 2013

Bagaimana Hukum Mengadzani Bayi?


assalamu'alaikum
afwan ust mau ty. hukum mengadzani bayi yg baru lahir dan hukum khitan bagi perempuan gmn ust? Jazakumulloh

Jawab:
wa’alaikum salam…

Hukum mengadzani bayi yang baru lahir adalah sunah, sebagaimana yang diterangkan dalam kitab zubad bait ke 938,
تسن في سابعه واسم حسن * وحلق شعر والأذان في الأذن

Artinya: “Aqiqoh disunahkan dihari ketujuh setelah kelahiran begitu juga memberi nama yang bagus, menyukur rambut dan adzan pada telinganya.”

Dalam kitab Minhajuth Tholibin, Imam Nawawi menjelaskan,
ويؤذن في أذنه حين يولد
Artinya: “Dan (disunahkan) mengadzani pada telinganya bayi ketika dilahirkan.” (Minhajuth Tholibin, hlm 321, cet. Darul Fikr)

Sebagai catatan: Adzan dilakukan pada telinga sebelah kanan sedangkan telinga sebelah kiri di iqomati.

Hukum menghitan bagi perempuan juga sunah, sebagai mana yang dijelaskan oleh Syekh Ahmad Ibn Ruslan dalam kitab zubad bait ke 111-112,
وانتف لإبط ويقص الشارب * والعانة احلق والختان واجب
لبالغ ساتر كمرة قطع * والإسم من أنثى ويكره القزع

Penjelasan:

Di sunahkan mencukur bulu ketiak, mencukur kumis, mencabuti (maaf ngomong) rambut kemaluan. Adapun hitan hukumnya adalah wajib bagi anak yang sudah baligh. Namun bagi anak yang belum baligh hukumnya sunah.

Adapun caranya yaitu dengan memotong kulit yang menutupi (Maaf ngomong) kepala kemaluan lelaki. Sedangkan cara menghitan wanita adalah dengan cara memotong ism. Terus terang saja, saya tidak tahu apa itu ism dan bagaimana bentuknya. Namun menurut keterangan yang saya dapatkan dari guru saya, ism adalah (maaf ngomong) klistoris wanita. Wallohu a’lam.


Penjelasan Air Musta'mal


Pertanyaan saya buat ustad Qosim Ibn Aly .....
Apa itu Air Musta'mal......? Jelaskan dengan Rinci ustad, saya orang awam jadi banyakistilah yang saya ngk faham. Dan apa Maksudnya itu 2 Kulla ustad Mohon Di jawab.

Jawab:

Dalam kitab Zubat bait ke 87 dijelaskan mengenai air musta’mal sebagai berikut:
وكل ما استعمل في تطهر * فرض وقل ليس بالطهور

Artinya: Setiap air yang digunakan untuk bersesusi dan jumlah air tersebut sedikit (kuarng dari dua kulah) maka air tersebut tidak bisa digunakan untuk bersesuci.”

Penjelasan:

Secara literal, musta’mal berarti telah digunakan. Secara syari’at musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersesuci, baik dari hadats seperti wudhu dan mandi janabah atau digunakan untuk mensucikan najis.

Misalnya begini: Mba’ Aliyah mandi janabah. Maka air yang telah mba’ Aliyah gunakan untuk mandi disebut air musta’mal. Atau misalnya mba’ Aliah wudhu. Saat membasuh wajah tentunya ada air yang menetes. Nah air yang menetes inilah yang disebut air musta’mal. 

Atau misalnya Mba’ Aliyah mensucikan lantai mba’ Aliyah dari najis seperti (Maaf ngomong) kotoran ayam. Nah air yang telah digunakan untuk membersihkan najis itulah yang disebut air musta’mal.

Air yang telah digunakan untuk bersesuci dapat disebut musta’mal manakala jumlahnya sedikit, yaitu kurang dari dua kulah. Dua kulah  adalah -ukuran air- kurang lebih 190 liter. Atau jika ditampung dalam bak, maka setiap sisi baknya harus berukuran 58 cm. Wallohu a’lam.


Wednesday, April 24, 2013

Mafahim Yang Harus Di Luruskan VII


Di ahir artikelnya, Firanda berkata: “Bahkan diantara para imam Asyaa'iroh ada diantara mereka yang akal mereka menetapkan sifat ketinggian Allah, demikian juga sifat kedua tangan Allah dan sifat mata Allah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abul Hasan al-'Asy'ari dan juga Al-Baaqillaaniy. Lantas akal siapakah yang diikuti?, apakah akal pendahulu Asyaa'iroh ataukah orang-orang belakangan mereka seperti Ar-Roozi?”

Tanggapan:
Tidak hanya sebagian ulama Asya’iroh yang menetapkan sifat ketinggian Alloh, melainkan seluruh ulama Asya’iroh termasuk Ar-Rozi. Demikian juga sifat Yad Alloh dan sifat 'Ain Alloh. Mereka semua sepakat bahwa sifat-sifat tersebut memang sifat Alloh. Namun perlu anda ketahui bahwa dalam memahami ayat dan riwayat tentang sifat Alloh, madzhab Asya’iroh memiliki dua metode, yakni ta’wil dan tafwidh.

Selanjutnya Firanda berkata: “Kemudian diantara para imam Asyaa'iroh ada yang berselisih pendapat tentang takwilan-takwilan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Ada yang menetapkan takwilan tertentu, sementara yang lain memandang bahwa takwilan tersebut batil??, dan sebagian yang lain memandang tidak perlu ditakwil akan tetapi diserahkan kepada ilmu Allah (tafwidh)??!!” (Silahkan Lihat penjelasan Ibn Taimiyah, tentang contoh-contoh kontradiksi mereka di Majmuu al-Fataawaa 2/62, 4/50-53, 16/470, Minhaajus Sunnah An-Nabawiyah 3/288, 347, Dar Ta'aarudl al-'Aqli wa An-Naqli 1/145-155, 193, 4/278-282, 5/243-245, 6/221-222, 7/41-43, al-fatawa al-mishriyah 6/428)

Tanggapan:
Saya sangat senang jika anda menyertakan refrensi tulisan anda. 4 refrensi yang anda ajukan, semuanya adalah karya Ibn Taimiyah. Tidak ada satupun refrensi dari kitab ulama asya’roh. Artinya anda hanya menukil ucapan Ibn Taimiyah. Anda tidak merujuk secara langsung ke kitab-kitab asya’iroh. Dengan kata lain, anda bertaqlid buta terhadap Ibn Taimiyah.

Padahal menurut salah satu ustad wahabi yang mengaku sebagai mantan Kyai NU, Mahrus Ali; orang yang bertaqlid sama dengan yahudi dan nasrani. (Lihat, Mantan Kyai NU Menggugat Dzikir dan Sholawat Syirik, hlm. 139-150, cet ke-4 th.2007). Dengan kata lain –menurut Mahrus Aly- Firanda telah tasyabuh bilkufar.

Perbedaan pendapat dalam menta’wil ayat-ayat sifat telah terjadi sejak generasi salaf sholih. Sebagai contoh adalah ta’wil lafazh وجاء ربك (Tuhanmu datang) dalam Q.S. 89:22. Ibn Abbas menta’wilnya dengan perintah dan kepastian Alloh1 sementara Imam Ahmad menta’wilnya dengan datangnya pahala dari Alloh.2 Demikian juga ta’wil lafzh استوى dalam 2; 29. Ibn Jarir menta’wil lafazh istawa dengan memiliki dan menguasai. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauri menta’wilnya dengan berkehendak menciptakan langit.3

Jadi perbedaan pendapat dalam penta’wilan yang terjadi dalam madzhab asy’ari adalah dilatar belakangi oleh perbedaan penta’wilan yang dilakukan oleh salaf sholih. Jika perbedaan seperti ini anda anggap sebagai kebatilan, maka secara tidak langsung anda menganggap pendapat ulama salaf adalah batil. Jika demikian mengapa anda mengaku sebagi pengikut salaf? Apakah karena wahabi adalah aliran batil?

Penting anda ketahui wahai Firanda, tujuan ta’wil adalah mensucikan Alloh dari menyerupai mahluk. Oleh karena itu, meskipun mereka berbeda pendapat dalam penta’wilan, namun mereka tidak saling membatilkan. Lalu bagaimana anda bisa mengatakan: “sementara yang lain memandang bahwa takwilan tersebut batil.”

Akan sangat ilmiyah jika anda menyertakan refrensi dari kitab asy’ari untuk membuktikan kebenaran ucapan anda tersebut. Tunjukan siapa nama ulama asy’ari yang saling membatilkan tersebut. Atau bisa jadi anda tidak memiliki refrensinya kemudian anda anggap perbedaan itu sebagai bentuk saling membatilkan. Jika benar demikian, berarti bukan mereka yang saling membatilkan, melainkan pemahaman anda yang batil.

Pada kalimat terahir Firanda berkata: “sebagian yang lain memandang tidak perlu ditakwil akan tetapi diserahkan kepada ilmu Allah (tafwidh)”. Tampaknya anda tidak bisa memahami metode yang digunakan oleh madzhab asy’ari ketika menghadapi ayat atau riwayat tentang sifat Alloh yang secara literal serupa dengan mahluk. Metode yang mereka gunakan adalah tafwidh dan ta’wil.

Tafwidh adalah menyerahkan makna nas terkait sifat (diserahkan) kepada Alloh dengan tanpa membicarakan masalah tersebut kemudian mengimaninya secara ijmali (global). Ta’wil adalah mengalihkan makna lafazh yang secara zhohir menyerupakan Alloh dengan mahluk, kepada makna yang benar sesuai dengan qorinah atau indikasih lafazh tersebut.

Sebagai contoh adalah sifat Yadulloh. Secara literal yad berarti tangan. Silahkan anda lihat tangan anda. Itu adalah yad. Apakah yadulloh sama dengan yad anda? Jelas tidak sama. Maka dari itu ulama salaf meyerahkan maknanya kepada Alloh. Yadulloh tidak mereka maknai sebagai tangan Alloh. Mereka hanya mengimani bahwa Alloh memiliki sifat Yad. Mereka tidak membahas maknanya. Dua metode tersebut memiliki kesamaan tujuan, yaitu sama-sama tidak menyerupakan Alloh dengan mahluk.

Dari kedua metode itu, sebenarnya ulama asy’ari lebih memilih tafwidh. Namun karena suatu kondisi dimana mereka harus melawan mu’tazilah yang mengingkari sifat Alloh menggunakan dalil aqli maka ulama madzhab asy’ari terpaksa melakukan ta’wil untuk menetapkan sifat-sifat Alloh berdasarkan dalil aqli demi menandingi pemikiran mu’tazilah tersebut. Melihat fakta kegigihan ulama asya’iroh dalam membela aqidah ahlu sunah wal jama’ah, maka wajar jika salah satu ulama hanbali menyebut madzhab asy’ari sebagai ahlu sunah waljama’ah. Kata beliau:

أهل السنة والجماعة ثلاث فرق : الأثرية وإمامهم أحمد بن حنبل . والأشعرية وإمامهم أبو الحسن الأشعرى . والماتريدىةلاوإمامهم أبو منصور الماتريدي .

Artinya: “Ahlu sunah waljama’ah adalah tiga golongan, yaitu (1) Al-atsariyah. Imam mereka adalah Ahmad Bin Hanbal. (2) Asy’ariyah. Imam mereka adalah Abu Hasan Al-Asy’ari. (3) Maturidiyah. Imam mereka adalah Abu Manshur Al-Maturidi.” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyah Wa Sawathi’ul Asror Al-Atsariyah, hlm 73)

Itulah pernyataan Imam As-safarini mengenai Madzhab Asy’ari. Beliau menyatakan bahwa madzhab Asy’ari adalah termasuk ahlu sunah waljama’ah. Pertanyaannya: Adakah ulama yang menyatakan bahwa WAHABI YANG DIDIRIKAN OLEH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB, ATAU WAHABI YANG TAQLID BUTA TERHADAP IBN TAIMIYAH, TERMASUK AHLU SUNAH WAL JAMA’AH? Jawab wahai wahabiyun!!!

Refrensi:
1.      Madarikut Tanzil Wa Haqoiqut Ta’wil, juz 4 hlm 387
2.      Al-bidayah Wan Nihayah juz 10 hlm 361
3.      Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Quran, juz 21 hlm 314


Tuesday, April 23, 2013

Ketidak Pahaman Firanda Terhadap Madzhab Asy’ari.

Dalam artikelnya, Firanda membuat kesimpulan sebagai berikut: “KEEMPAT : Diantara bukti bahwasanya dalil akal tidak bisa didahulukan di atas dalil naqli, ternyata akal para pemuja akal saling kontradiksi. Akal para imam Mu'tazilah –yang menolak seluruh sifat-sifat Allah- ternyata bertentangan dengan akal para imam Asyaa'iroh –yang menetapkan sebagian sifat-sifat Allah-.”

Tanggapan:

Mengapa anda tidak menyertakan refrensi dari kitab-kitab madzhab asy’ariyah untuk mendukung ucapan anda tersebut, wahai firanda?!! Kebetulan, selama tiga tahun (2006-2009) saya mengajar bidang teologi madzhab asy’ari di pondok Darut Tauhid, Kedungsari, Purworejo, Jawatengah. 

Ini, saya memiliki kitab-kitab ulama asya’iroh. Mari kita bertemu dalam satu majlis kemudian kita lihat bersama, adakah ulama asya’iroh yang lebih mendahulukan akal ketimbang nas Qur’an dan hadits? Adakah wahabi yang berani? Atau mereka ketakutan kemudian membuat alasan takut di hajar? Alasan basi yang tidak pantas dikemukakan oleh orang yang mengaku-ngaku mengikuti sunah nabi. 

Saya pastikan kepada anda wahai Firanda dan seluruh wahabiyun, bahwa anda tidak akan menemukan pendapat seperti itu. Ucapan anda hanya merupakan kepahaman anda yang cupet yang tidak mampu memahami madzhab Asy’ari. Berikut saya nukilkan pernyataan salah satu ulama Asya’iroh, hujatul islam, Imam Ghozali.
وأهل النظر في هذا العلم يتمسكون اولا بأيات الله تعالى من القران ثم بأخبار الرسولsثم بالدلائل العقلية والبراهين القياسية   
Artinya: “Ahli nazhor (nalar) dalam ilmu (aqidah) ini pertama-tama berpegang dengan ayat-ayat Alloh ta’ala, yakni Al-Qur’an kemudian dengan khobar (hadits) Rosul SAW selajutnya dengan dalil akal dan argumentasi analog.” (Imam Ghozali, Ar-Risalah Al-Laduniyah, hlm. 244)

Satu hal yang tidak mampu dipahami oleh Firanda dalam masalah ini adalah alasan yang mendasari asy’ari dan mu’tazilah dalam menggunakan akal. Firanda mengira bahwa keduanya sama-sama menggunakan akal kemudian terjadi perbedaan pendapat. Sehingga Firanda mengatakan: ternyata akal para pemuja akal saling kontradiksi. Akal para imam Mu'tazilah –yang menolak seluruh sifat-sifat Allah- ternyata bertentangan dengan akal para imam Asyaa'iroh –yang menetapkan sebagian sifat-sifat Allah-.”

Maka dari itu, saya akan menjelaskan masalah ini. Pertama, madzhab asy’ari meyakini bahwa Alloh memiliki sifat sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran dan Hadits sementara mu’tazilah sama sekali tidak mempercayai sifat-sifat tersebut. Kedua, dalam memahami ayat atau riwayat tentang sifat Alloh, madzhab asy’ari memiliki dua metode, yaitu tafwidh dan ta’wil. Kedua metode ini merupakan metode ulama salaf yang sholih sebagaimana yang saya jelaskan dalam artikel berjudul Mafahim Yang Harus Di Luruskan IV 

Metode ta’wil dengan menggunakan akal dalam madzhab asy’ari adalah untuk menandingi mu’tazilah dan pemikir filosof yunani. Ulama Asya’iroh menggunakan akal karena yang mereka hadapi adalah aliran yang lebih mendahulukan akal ketimbang nas. Seandainya mu’tazilah tidak menggunakan dalil aqli untuk menolak sifat Alloh, niscaya asya’iroh tidak akan menggunakan dalil aqli untuk membuktikan kebenaran sifat Alloh. Niscaya mereka lebih memilih metode tafwidh. Inilah yang dalam madzhab asy’ari disebut, “Terpaksa Menggunakan Akal.”

Mereka terpaksa menggunakan akal untuk menta’wil ayat dan riwayat tentang sifat yang secara literal serupa dengan mahluk. Tujuannya adalah untuk membantah mu’tazilah. Oleh karena tujuan penggunaan akal adalah untuk membuktikan kebenaran adanya sifat-sifat Alloh, sudah barang tentu pendapat Asya’iroh bertentangan dengan mu’tazilah yang dalam penggunaan akal bertujuan untuk mengingkari sifat-sifat Alloh.

Pertentangan antara pendapat ulama asy’ari dan mu’tazilah ini adalah bukti bahwa asya’iari berjuang menggunakan akal untuk membela Aqidah ahlu sunah waljama’ah yang berdiri di atas dalil Al-Qur’an dan Hadits. Bukan karena keduanya sama-sama mengagungkan akal kemudian terjadi perbedaan pendapat sebagaimana anggapan Firanda.

Berikut saya nukilkan komentar Ibn Subuki dalam Syarah Aqidah Ibn Hajib mengenai madzhab asy’ari. Kata beliau:
اعلم أن أهل السنة والجماعة كلهم قد اتفقوا علي معتقد واحد فيما يجب ويجوز ويستحيل وإن اختلفوا في الطرق والمبادئ الموصلة لذلك . و بالجملة فهم بالإستقراء ثلاث طوائف
الأولى : أهل الحديث. ومعتقد مباديهم الأدلة السمعية الكتاب والسنة والإجماع
الثانية : أهل النظر العقلي وهم الأشعرية والحنفية الماتريدية .
الثالثة : أهل الوجدان والكشف وهم الصوفية .

Artinya:
“Ketahuilah bahwa ahlu sunah waljama’ah, semuanya sepakat dalam sifat yang wajib (bagi Alloh) sifat jaiz dan sifat muhal, meskipun mereka berbeda dalam metode dan mabadi yang mengantarkan kepada kesepakatan tersebut. Secara global, menurut penelitian, mereka terdiri dari tiga golongan: Pertama, ahli hadits. Kedua, Ahli berfikir secara akal. Mereka adalah Asy’ariyah dan Hanafiyah Al-Maturidiyah. Ketiga, Ahlul wujdan dan Kasyaf. Mereka adalah orang-orang sufi” (Yusuf Abdur Rozaq, dalam ta’liqnya atas kitab Isyarotul Marom, hlm. 298, cet. Musthofa Halaby)

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh salah satu ulama hanbali, yakni Imam Muhammad Bin Ahmad As-safarini Al-hanbali. Kata beliau:
أهل السنة والجماعة ثلاث فرق : الأثرية وإمامهم أحمد بن حنبل . والأشعرية وإمامهم أبو الحسن الأشعرى . والماتريدىةلاوإمامهم أبو منصور الماتريدي .

Artinya: “Ahlu sunah waljama’ah adalah tiga golongan, yaitu (1) Al-atsariyah. Imam mereka adalah Ahmad Bin Hanbal. (2) Asy’ariyah. Imam mereka adalah Abu Hasan Al-Asy’ari. (3) Maturidiyah. Imam mereka adalah Abu Manshur Al-Maturidi.” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyah Wa Sawathi’ul Asror Al-Atsariyah, hlm 73)

Itulah pernyataan Ibn Subuki dan Imam As-safarini mengenai Madzhab Asy’ari. Keduanya menyatakan bahwa madzhab Asy’ari adalah termasuk ahlu sunah waljama’ah. Pertanyaannya: Adakah ulama yang menyatakan bahwa WAHABI YANG DIDIRIKAN OLEH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB, ATAU WAHABI YANG TAQLID BUTA TERHADAP IBN TAIMIYAH, TERMASUK AHLU SUNAH WAL JAMA’AH? Jawab wahai wahabiyun!!!


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates