Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Sunday, April 7, 2013

Qul Hadzihi Sabily V (Seputar Wirid Tasawuf)


Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam artikelnya mengatakan bahwa bacaan wirid yang diamalkan oleh shufi dan thoriqoh ada yang disyariatkan dan ada yang tidak. Dzikir yang disyari’atkan adalah seperti membaca kalimat Thoyyibah. Sedangkan dzikir yang tidak disyari’atkan adalah seperti membaca lafazh Alloh, Huwa, dan Hayyu secara berulang-ulang. Menurutnya dzikir dengan membaca lafazh-lafazh itu adalah bid’ah dan sesat.

Tanggapan:
Saya sangat suka jika anda objektif. Anda mengakui bahwa dzikir yang dibaca oleh shufi ada yang disyari’atkan seperti membaca kalimat thoyyibah. Tolong pertahankan objektifitas anda. Saya sendiri mengamalkan thoriqoh alawiyah yang saya dapatkan melalui kakek saya. Dzikir yang dibaca dalam thoriqoh ini adalah kalimat thoyyibah, sholawat dan istighfar. Secara tidak langsung wahabi setuju bahwa bacaan dalam thoriqoh alawiyah di syari’atkan. Al-hamdulillah.

Namun bagaimana dengan 3 lafazh yang dibaca oleh sebagian shufi? Apakah dzikir dengan membaca lafzh Alloh, Huwa, dan Hayyu, adalah bid’ah? Apakah wirid ini bathil? Apakah mereka yang mengamalkannya sesat? sebagaimana yang dikatakan oleh ustad wahabi itu.

Jawaban saya: Yang bathil dan sesat adalah ucapan Abu Bakar Jabir. Sebab ketiga lafazh itu diambil dari al-Qur’an. Menurut ulama ushul, sumber hukum syari’at adalah al-Qur’an. Lalu bagaimana bisa dzikir yang diambil dari Qur’an dikatakan bathil? Bagaimana bisa mereka yang mengamalkannya disebut sesat?

Al-Quran -meskipun memuat segala sesuatu- namun bukan berarti setiap orang mampu memahaminya secara keseluruhan. Setiap orang hanya mampu memahami apa yang menjadi bidangnya. Sebagai contoh adalah bidang astronomi. Dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menyinggung masalah astronomi. Namun mereka yang tidak menguasai bidang ini, tidak akan tahu ayat mana yang menyinggung masalah astronomi tanpa merujuk pada hasil penelitian ahli astronomi.

Disebutkan bahwa matahari dan Sembilan pelanet yang tergabung dalam tatasurya berada di dalam galaksi bimasakti. Panjang galaksi ini adalah 100 ribu tahun cahaya. Artinya, jika kita ingin menempuh panjang galaksi ini, kita memerlukan waktu 100 ribu tahun menggunakan pesawat dengan kecepatan cahaya. Kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik.

Galaksi bimasakti hanyalah satu dari ribuan galaksi yang membentuk cluster. Cluster yang tersusun dari ribuan galaksi itu berjumlah ribuan dan membentuk super cluster. Super cluster ini bersama ribuan super cluster lainnya membentuk jagat raya atau universe yang panjangnya adalah sejauh perjalanan 30 miliyar tahun cahaya. Seluruh benda-benda langit yang menyusun jagat raya ini, secara keseluruhan bergerak berputar atau -dalam istilah astronominya- beredar pada manzilah atau tempatnya masing-masing.

Orang-orang yang ahli dalam bidang astronomi mampu memahami ayat-ayat yang menyinggung masalah itu tanpa merujuk pada kepahaman orang lain. Mengenai susunan langit dibicarakan dalam surat Al-Furqon: 61. Mengenai gerak berputar benda-benda langit dibicarakan dalam Ar-Ro’d: 32. Mengenai manzilah atau tempat peredarannya dibicarakan dalam surat yunus: 5. Mereka mengetahui ini karena mereka adalah ahli astronomi.

Berbeda dengan orang-orang yang tidak menguasai bidang astronomi. Mereka tidak bisa memahami ayat-ayat yang menyinggung masalah astronomi sekalipun mereka membaca Qur’an setiap hari. Kalaupun mereka tahu, pengetahuan ini adalah berkat kerjakeras orang-orang yang menguasai bidang astronomi. Mereka mengumpulkan ayat-ayat itu dan menulisnya dalam artikel atau buku kemudian disebarkan kepada public. Sehingga orang-orang yang tidak menguasai bidang astronomi menjadi tahu bahwa al-Quran juga menyinggung masalah ini.

Ahli sufi adalah orang-orang yang menguasai bidang wirid. Mereka adalah ahli dzikir. Bagi mereka dzikir hukumnya wajib. Mereka membaca seluruh dzikir-dzikir yang wurud dari Nabi Muhammad SAW. Bersamaan dengan itu, mereka juga membaca al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an mereka menemukan lafazh-lafazh yang bisa digunakan sebagai bacaan dzikir seperti lafzah Alloh, Huwa dan Hayyu.

a.      Lafazh Alloh
Dalam Al-Qur’an kurang lebih ada 980 ayat yang didalamnya terdapat lafazh Alloh. sebagai contoh adalah Al-Ahzab: 41
يأ يها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (kepada) Alloh dengan dzikir sebanyak-banyaknya.”

Ayat itu memerintah orang-orang beriman untuk berdzikir kepada Alloh. اذكروا  ini adalah kalimat perintah. Mafu’ul atau subbjeknya adalah الله . Jadi orang-orang beriman diperintah untuk mengingat الله yang pada gilirannya disebut berdzikir. Lalu apa salahnya jika shufi menggunakan lafazh الله yang diambil dari al-Qur’an sebagai bacaan dzikir? Lha wong kita diperintah untuk mengingat Alloh kok.

b.      Lafazh Hayyu
Di samping menemukan ratusan lafazh Alloh, mereka juga menemukan sekitar 4 ayat yang mengandung lafazh Hayyu. 4 ayat itu adalah Al-Baqoroh: 225, Ali Imron: 2, Furqon: 58 dan Ghofir: 65. Untuk lebih jelasnya berikut kita baca surat Ghofir: 65;
هو الحي لا إله إلا هو

Siapa Hayyu yang dimaksud oleh ayat di atas? Jawabannya adalah Alloh. Sebagian ahli sufi menggunakan lafazh Hayyu sebagai bacaan dzikir karena Hayyu merupakan sifat Alloh sebagaimana yang diyakini oleh akidah ahlu sunah wal jama’ah. Lalu apa salahnya jika kita mengingat Alloh dengan mengucapkan lafazh Hayyu yang merupakan sifat Alloh yang diambil dari Al-Qur’an?

c.       Lafazh Huwa
Bacaan dzikir huwa –teks arabnya هو ­– juga diambil dari Al-Qur’an. Kurang lebih ada 13 ayat yang mengandung lafazh huwa yang marji’nya kembali pada Alloh. Ayat-ayat itu adalah An-Naml: 29, Al-Qoshosh: 70, 88, Fathir: 3, Az-Zumar: 6, Ghofir: 3, 65, Az-Zkhruf: 84, Ad-Dukhon: 8, Al-Hasyr: 22, 23, At-Taghobun: 13 dan AT-Taubah: 31, Al-Mu’minun: 116. Sebagai contoh mari kita lihat Al-Mu’minun: 116;
فتعالى الله الملك الحق لا إله إلا هو

Perhatikan lafazh هو . Ini adalah isim dhomir. Menurut ulama ahli nahwu setiap dhomir pasti memiliki marji’ yang menafsiri dhomir tersebut. Untuk lebih mudahnya begini, هو artinya adalah Dia. Dia siapa? Kita tidak tahu siapa yang dimaksud dengan dia. Kita butuh kata yang menafsiri untuk menjawab pertanyaan itu. Kata yang menafsiri ini lah yang dalam nahwu disebut sebagai marji’ dhomir.

Kaidah mencari marje’ dhomir adalah pertama-tama kita harus melihat kreteria dhomir itu. Apakah bentuknya mudzakar atau mu’anats. Kemudian kita lihat apakah dhomir itu mufrod atau tatsniyah atau jama’? Jika kreteria dhomir sudah diketahui maka selanjutnya kita cari lafazh sebelumnya yang terdekat yang sesuai dengan kreteria dhomir tersebut.

Kita kembali membahas dhomir huwa pada ayat di atas. هو adalah dhomir mufrod mudzkar. Untuk mengetahui marji’nya, kita harus mencari lafazh sebelumnya yang sesuai dengan kreteria tersebut. Kita harus mencari lafazh mufrod mudzakar. Lafazh yang sesuai dengan kreteria itu dan yang terdekat adalah lafazh إله . Jadi marji’ dhomir  هو pada ayat di atas adalah lafazh إله . Dengan demikian yang dimaksud هو (Dia) pada ayat di atas adalah إله yang merupakan asal dari lafazh الله. Lafzah الله berasal dari إله yang mendapat tambahan  ال (Al) ma’rifah sehingga menjadi الله.

Sebagian orang sufi menggunakan dhomir itu sebagai bacaan dzikir. Mereka membaca lafazh هو karena marji’ dhomir pada ayat di atas adalah الله . Telah maklum bahwa marji’ dhomir itu hanya diketahui oleh hati. Jadi ketika seorang shufi mengucapkan lafazh هو maka mersamaan dengan itu, hatinya menyebut lafazh الله .

Namun karena dzikir semacam itu tidak dipahami oleh public makanya shufi menyebutnya sebagai dzikir khoso’il Khusus. Berbeda dengan kalimat thoyyibah yang dikenal oleh orang secara umum. Makanya shufi menyebut kalimat thoyyibah sebagai dzikir umum. Masak pembagian seperti itu disebut bid’ah yang sesat?

Telah menjadi kebiasaan ustad wahabi, jika mereka diberitahu dalil suatu amalan yang telah mereka klaim sebagai amalan bid’ah, maka mereka akan mengelak. Mereka akan mencari celah untuk tetap mempertahankan klaim mereka. Dalam hal ini kemungkinan mereka akan berkata: “Yang kami bid’ahkan bukan lafazh yang dibaca. Melainkan bilangan bacaannya. Shufi membaca lafazh-lafazh itu hingga mencapai jumlah yang sangat banyak. Ini yang kami nilai bid’ah dan sesat.”

Jika kemungkinan itu terjadi maka saya jawab: Apa yang shufi lakukan itu, sesuai dengan perintah al-Qur’an baik lafazh maupun jumlahnya. Mari kita perhatikan Al-Ahzab: 41
يأ يها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا

Alloh menyuruh kita untuk berdzikir  sebanyak-banyaknya. Berapa jumlahnya? Al-Qur’an tidak menyebutkan jumlahnya. Al-Quran hanya memerintah orang beriman agar berdzikir sebanyak-banyaknya (كثيرا ). Lafazh كثيرا adalah merupakan jama’ taksir. Jama’ taksir ada dua. Jama’ qilah dan katsroh. Jama’ qilah adalah bilangan 3 ke atas sampai 10. Sementara jama’ katsroh adalah semua bilangan di atas 10. (Syarah Al-Fiyah Bab Jama’ Taktsir)

Lafazh كثيرا termasuk jama’ katsroh karena mengikuti wazan فعيل . (Al-Fiyah Ibn Malik Bait ke 817). Oleh karena lafazh كثيرا termasuk jama’ katsroh, berarti yang dimaksud banyak (كثيرا ) dalam ayat itu adalah semua bilangan di atas 10. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh shufi yaitu membaca dzikir hingga mencapai jumlah yang sangat banyak telah sesuai dengan perintah al-Qur’an. Apakah amalan yang sesuai dengan perintah Al-Quran kalian sebut sebagai amalan bid’ah dan sesat? Jawab wahai wahabiyun!!!

Saya teringat sebuah kisah dari salah satu murid Ibn Taimiyah bernama Umar Bin Ali Al-Bazzar sebagaimana yang tertera dalam Manaqib Ibn Taimiyah. Al-Bzzar berkata: “Selama di Damasykus aku selalu bersama Ibn Taimiyah siang dan malam. Ia sering mendekatkan ku kepadanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku mendengar apa yang dibacanya dan yang dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca al-Fatihah, mengulang-ngulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang membaca Fatihah sejak selesai shalat shubuh hingga matahari naik.” (Al-A’lam Al-Aliyah Fi Manaqib Ibn Taimiyah, hlm. 37-39)

Rosululloh SAW tidak pernah melakukan apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah. Membaca Fatihah sejak selesai shalat shubuh hingga matahari naik adalah murni bid’ah yang diamalkan oleh Ibn Taimiyah. Apakah Ibn Taimiyah sesat? Jawab wahai wahabiyun!!!

1 comments:

Anonymous said...

Barokah super ....kajian yg mendalam...

Post a Comment

Silahkan bertanya di kolom komentar di bawah ini

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates