Dalam
kitab Muhashol, Ar-Rozi berkata: “Masalah : Dalil lafal tidaklah memberi faedah
keyakinan kecuali jika telah diyakini terpenuhinya 10 perkara, (1) terjaganya
para perawi kosa kata lafal-lafal dalil tersebut,.. (dan seterusnya).
Saat
mengomentari 10 syarat tersebut, dalam artikelnya Firanda berkata: “Coba
renungkan 10 persyaratan di atas, sebagiannya saja mustahil untuk dipenuhi
apalagi harus terpenuhi keseluruhannya. Perhatikan syarat yang pertama
“terjaganya/maksumnya para perowi kosa kata tersebut”, ini saja mustahil untuk
dipenuhi.
Tanggapan:
Kata
“mustahil” adalah untuk sesuatu yang bertentangan dengan akal yang tidak
dapat diketahui kecuali setelah memikirkannya menggunakan akal. Ini menunjukan
bahwa Firanda menggunakan akal. Komentar Ini bertentangan dengan komentar Firanda
saat menentang penggunaan akal. Jadi ia mengecam penggunaan akal yang dilakukan
oleh Ar-Rozi namun ia menggunakan akal untuk mengecam Ar-Rozi. Sungguh picik
akal anda wahai Firanda.
Saya
tidak akan membahas 10 syarat itu satu persatu. Sebab Firanda hanya membuat
pernyataan bahwa “10 syarat itu mustahil terpenuhi” tanpa menyertai alasan
dan dalil ilmiyah untuk menyokong pernyatan tersebut.
Jika
hanya membuat pernyataan tanpa alasan dan dalil ilmiyah dapat di benarkan, maka
siapa pun orangnya bisa membuatnya. Tidak harus meraih gelar S2, juga tidak
perlu mengejar S3 seperti Firanda. Anak TK nol kecil saja bisa dengan sangat
mudah membuat pernyataan untuk membantah pernyataan Firanda itu. Dengan mudahnya mereka bisa berkata: “Anda
salah wahai Firanda. 10 syarat itu tidak mustahil. 10 syarat itu sangat mudah
untuk dipenuhi.” Terjawab sudah pernyataan Firanda oleh anak TK nol kecil.
Di
sini saya hanya akan membahas satu point, yakni komentar Firanda terhadap
syarat pertama. Berikut teks arabnya:
عصمة
رواة مفردات تلك الألفاظ
Saat
mengomentari syarat ini, Firanda berkata: “Perhatikan syarat yang pertama
“terjaganya/maksumnya para perowi kosa kata tersebut”, ini saja mustahil untuk
dipenuhi.” Jadi dalam kepahaman Firanda syarat itu menunjukan bahwa perowi
harus maksum yang tentu saja ini mustahil sebab tidak ada manusia maksum selain
nabi.
Tanggapan:
Saya
akan membagi tanggapan untuk menjawab komentar Firanda di atas ke dalam dua sub;
yaitu kesalahan Firanda dalam mentarkib kalimat dan tarkib yang benar.
1.
Kesalahan
Firanda Dalam Mentarkib Kalimat
Jika
Firanda menerjemahkan kalimat itu dengan “terjaganya/maksumnya para
perowi kosa kata tersebut” berarti Firanda menjadikan kalimat itu
sebagai tarkib idhofi dari dua tarkib idhofah. Lafazh عصمة ia posisikan sebagai mudhof. Lafazh رواة , ia posisikan
sebagai mudhof ilaih. Lafazh مفردات, ia jadikan
sebagai mudhof. Sementara isim isyaroh dan musyaroh ilaih, yakni تلك
الألفاظ , ia jadikan mudhof ilaih. Kemudian Firanda menjadikan dua tarkib
idhofah tersebut menjadi satu tarkib idhofah. Tarkib idhofah pertama, yakni عصمة
رواة sebagai mudhofnya tarkib idhofah kedua yakni مفردات تلك الألفاظ.
Silahkan
anda pelajari seluruh kitab gramer arab (Nahwu), dari jurumiyah, Al-fiyah Ibn
Malik hingga Sudzurudzdzahab lengkap dengan syarat-syarahnya. Silahkan anda
cari, adakah penjelasan tarkib idhofah yang terbentuk dari dua idhofah? Sebelum
anda membuka kitab-kitab itu, saya pastikan terlebih dahulu bahwa anda tidak
akan menemukan tarkib idhofah yang terbentuk dari dua tarkib idhofah
sebagaimana yang dilakukan oleh Firanda dalam menerjemahkan kalimat itu.
Artinya
terjemahan Firanda itu berdasarkan pada kesalahan dalam mentarkib kalimat yang
berakibat pada kesalahan dalam memahami kalimat tersebut. Dari kepahaman yang
salah inilah Firanda menerjemahkan kalimat itu. Klimaksnya, orang wahabi
menggunakan terjemahan yang salah dari pemahaman yang salah sebab pen-tarkib-an
kalimat yang salah untuk menuduh Ar-Rozi mensyaratkan kemaksum perowi. Buruk
sekali kepahaman anda wahai Firanda. Bagaimana anda memahami kalimat itu
sebagai syarat bahwa perowi harus maksum? Berikut saya akan beritahu anda
tarkib yang benar menurut kaidah nahwu.
2.
Tarkib
Yang Benar.
Telah
sama-sama kita ketahui bahwa عصمة adalah masdar. Ia menjadi mudhof bagi Lafazh رواة . Dalam Alfiyah Ibn Malik bait ke 429 dijelaskan bahwa
masdar dapat beramal seperti fi’ilnya.
بفعله
المصدر الحق في العمل * مضافا او مجردا او مع ال
Fi’il
adalah amilnya maf’ul bih. Artinya fi’il adalah yang menashobkan maf’ul bih.
Karena masdar bisa beramal seperti fi’ilnya, maka masdar juga bisa menashobkan
maf’ul bih. Dengan demikian mahal kalimat مفردات
تلك الألفاظ pada syarat pertama adalah maf’ul bih. Ia dibaca nashob yang
ditandai dengan kasroh sebab lafazh مفردات adalah jama’ mu’anats salim. Dalam Alfiyah bait ke 41 di katakan,
وما
بتا والف قد جمع * يكسر في الجر وفي النصب معا
Dengan tarkib seperti itu maka terjemahan kalimat عصمة رواة مفردات تلك الألفاظ adalah penjagaan perowi terhadap kosa kata lafazh-lafazh tersebut. Jadi yang dimaksud عصمة رواة bukan perowinya maksum sebagaimana terjemahan Firanda melainkan perowinya menjaga kosa kata lafazh-lafazh hadits yang ia dengar.
Jika
tarkib itu di jadikan sebagai jumlah fi’liyah, artinya masdarnya diganti dengan
fi’ilnya maka mahal lafazh رواة yang tadinya mudhof ilaih, menjadi fa’il (subjek). Jadi yang
melakukan pekerjaan adalah رواة (beberapa perowi). Sementara kalimat مفردات
تلك الألفاظ menjadi maf’ul bih (objek). Maka jelaslah bahwa maksud عصمة
رواة مفردات تلك الألفاظ adalah perowi
harus menjaga kosa kata lafazh-lafazh hadits yang ia riwayatkan. Bukan
perowinya yang terjaga/maksum sebagaimana kepahaman ngawur dari Firanda. Dengan
syarat yang seperti itu, maka hadits yang dapat memebri keyakinan adalah hadits
yang diriwayatkan oleh perowi yang menjaga kosakata lafazh hadits tersebut
sesuai dengan apa yang ia dengar, bukan dengan maknanya.
Persayaratan
seperti ini sebenarnya tidak hanya diajukan oleh Ar-Rozi, melainkan juga oleh
sebagian ulama ushul fiqih. Memang benar ada sebagian ulama yang memperbolehkan
periwayatan menggunakan makna, tapi penting diingat bahwasanya semua ulama
sepakat bahwa hadist yang teriwayatkan menggunakan makna, bukanlah dalil
qoth’I, melainkan zhonni. Sementara syarat yang diajukan oleh Ar-Rozi adalah
untuk mengklarifikasi antara dalil zhonni dan qoth’i. Sebab dalam masalah
akidah, harus menggunakan dalil qoth’I dan tidak boleh menggunakan dalil zhonni
sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam artikel Mafahim
Yang Harus Di Luruskan VI
Dari
pemaparan di atas dapat dipahami bahwa Firanda telah melakukan tahrif terhadap
ucapan Ar-Rozi. Menurut al-albani, tahrif merupakan kebiasaan yahudi. Meminjam
pendapat al albani ini, jelas sudah bahwa Firanda tengah mengikuti jejak yahudi
untuk menghancurkan umat islam dengan melakukan tahrif terhadap teks. Bukankah
begitu wahai Firanda?
5 comments:
Larangan tahrif itu mengenai sifat-sifat Allah. Misal ada ayat yang menyatakan "Tangan Allah diatas tangan mereka" kemudian kata Tangan Allah dimaknai dengan kekuasaan maka itu tahrif. Adapun selain asma Allah dan sifat-sifatnya maka tidak mengapa menggunakan akal sehat dan mentahrif.
Misalkan dalam pembicaraan sehari-hari ada orang bilang "selamat datang di gubugku yang reyot ini", maka tidak mengapa orang memahami gubug ini sebagai rumah maksudnya. Ini juga tahrif tapi tidak ada masalah sama sekali.
Larangan tahrif itu mengenai sifat-sifat Allah. Misal ada ayat yang menyatakan "Tangan Allah diatas tangan mereka" kemudian kata Tangan Allah dimaknai dengan kekuasaan maka itu tahrif.
==================
silahkan nt tunjukan dalilnya bhw larangan itu hanya mengenai sifat-sifat Allah.
apa ini...??
Penulis-e ketok yen gublog. Gak paham Tahrif, tp ngelek-elek wong liyo
Maaf... kalo mau ngeles jangan di sini mas...
Tahrif adalah merubah teks. Larangan tahrif nggak cuma dalam masalah sifat2 Alloh. Melainkan dalam semua masalah. Misalnya ada orang yg merubah teks quran yg tidak membahas masalah sifat Alloh. Bukankah tahrif tersebut juga dilarang? Ini menunjukan bahwa tahrif tidak hanya sebatas pada sifat Alloh sebagaimana yg nt pahami.
Kalo mau menggoblogan orang, pake ilmu mas. Jangan hanya nurutin hawa nafsu. Justru hanya akan menunjukan kegoblogan nt. :D
Post a Comment
Silahkan bertanya di kolom komentar di bawah ini