Artikel
ini sengaja saya beri judul “Kerancuan Manhaj Wahabi”, karena selama
menulis artikel untuk menjawab tuduhan-tudahan wahabi terhadap asya’iroh, saya
menemukan beberapa indikasi bahwa wahabi sebenarnya tidak tahu secara pasti
alasan mengapa mereka harus memberi label sesat terhadap madzhab asy’ari?
Mereka hanya bertaqlid buta terhadap ulama dan ustad wahabi yang sebenarnya
tidak memahami ajaran asya’iroh dengan benar.
Padahal
bertaqlid buta, menurut Mahrus Ali yang bertaqlid pada Utsaimin adalah
merupakan kebiasaan yahudi dan nasrani. Jadi, wahabi melarang orang lain
bertaqlid namun mereka sendiri bertaqlid. Ini kerancuan pertama manhaj wahabi.
Oleh
karena itu setiap hal yang dituduhkan oleh wahabi terhadap asya’iroh, sama
sekali bukan ajaran asya’iroh. Melainkan hanya pemikiran wahabi yang disematkan
kepada asya’iroh. Sebagai contoh adalah tuduhan wahabi seputar masalah Zat,
sifat dan af’al Alloh serta posisi akal.
Dalam
masalah Zat, wahabi menuduh asy’ari menyerupakan Zat Alloh dengan mahluk-Nya.
Dalam masalah sifat, wahabi menuduh asy’ari menafikan sifat-sifat Alloh. Dalam
masalah af’al, wahabi menuduh asy’ari berpendapat bahwa Alloh sama sekali tidak
turut campur atas perbuatan manusia. Dalam masalah akal, wahabi menuduh asy’ari
memosisikan akal di atas nas quran dan hadits.
Menanggapi
semua tuduhan itu, saya katakan: “Allohumma subhanak! Hadza buhtan ‘azhim.” (Maha Suci Engkau ya Alloh! Ini
adalah kedustaan yang sangat besar).Semua itu bukan ajaran asya’iroh.
Melainkan hanya hasil pemikiran wahabi yang rancu yang kemudian disematkan
kepada asya’iroh sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam artikel berjudul “Mafahim
Yang Harus Di Luruskan ”
Ada
kaidah fiqih yang berbunyi الحكم مع علته (Hukum bersama alasannya). Alasan wahabi
menyebut asya’iroh sebagai aliran bid’ah dan sesat telah kita bantah.
Seharusnya mereka menarik kembali klaim mereka kemudian meminta maaf kepada
asya’iroh karena telah menuduh mereka sebagai aliran yang bid’ah dan sesat.
Namun
karena tujuan wahabi bukan mencari kebenaran maka meskipun alasan mereka telah
dibantah, mereka tetap saja mencari celah untuk menyalahkan asya’iroh dengan
mengangkat alasan lain. Sebagai contoh adalah penggunaan akal. Menurut wahabi
–sebagaimana yang dikatakan oleh Firanda- Asya’iroh menjadikan akal sebagai
dasar agama. Padahal dalam beragama harus berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Akal sama sekali tidak boleh turut campur.
Melihat
alasan tersebut, maka kita jelaskan kepada wahabi bahwa Asya’iroh menjadikan
Al-Quran dan Hadits sebagai dasar agama. Mereka tidak menjadikan akal sebagai
dasar agama. Penggunaan akal dalam madzhab asy’ari adalah untuk memahami dalil
Qur’an dan Hadits. Hal ini mereka lakukan karena Al-Quran sendiri memerintah
kita untuk menggunakan akal dalam memahami Al-Qur’an. Dengan kata lain, penggunaan
akal untuk memahami Al-Qur’an adalah merupakan bentuk pengamalan terhadap
al-Qur’an itu sendiri sebagaimana yang saya jelaskan dalam artikel berjudul “Mafahim
Yang Harus Di Luruskan II Seputar Akal.”
Saya
teringat sebuah lagu dangdut yang saya dengar waktu saya masih kecil. Kira-kira
waktu itu saya baru berusia 7 tahun. Kalau tidak salah ingat, lagu itu
dinyanyikan oleh Megi. Z. Bunyinya begini: “Terlanjur basah, ya sudah mandi
sekali.” Bisa jadi, wahabi menjadikan cuplikan lagu tersebut sebagai dasar
agama. Mereka sudah terlanjur menyalahkan asya’iroh, maka meskipun
alasan-alasan mereka telah dibantah, tetap saja mereka menyalahkan Asya’iroh.
Mereka
terus mencari celah untuk dijadikan sebagai alasan. Seperti masalah ta’wil yang
merupakan salah satu metode Asya’iroh ketika menghadapi ayat atau riwayat
tentang sifat Alloh yang secara literal serupa dengan mahluk. Wahabi menyebut
ta’wil sebagai tahrif atau distorsi kemudian mereka menyamakan Asya’iroh dengan
yahudi dan nasrani yang melakukan tahrif.
Kita
jelaskan kepada wahabi, bahwa yahudi dan nasrani memang melakukan tahrif. Ini
terjadi karena mereka tidak mau melakukan ta’wil terhadap teks taurot dan injil
yang secara literal menyerupakan Alloh dengan mahluk sebagaimana yang
dijelaskan oleh Ibn Qutaibah dalam kitab Ta’wilu Musykilatil qur’an. Semua itu
terjadi karena mereka tidak mau melakukan ta’wil.
Ulama
salaf yang sholih sangat memahami hal ini. Sehingga sebagian mereka ada yang
melakukan ta’wil dan sebagian yang lain menggunakan metode tafwidh. Metode
tafwidh dan ta’wil inilah yang digunakan oleh madzhab asy’ari dalam menghadapai
ayat atau riwayat tentang sifat Alloh yang secara zhohir serupa dengan mahluk.
Ini
menjadi alasan mengapa Al-Hafizh Badruddin Az-Zarkasyi dan Asy-syaukani mengatakan
bahwa ahlul hak adalah mereka yang menggunakan metode tafwidh dan ta’wil.
Aliran yang tidak mau menggunakan dua metode tersebut adalah aliran bathil
sebagaimana yang saya jelaskan dalam artikel berjudul berjudul Mafahim
Yang Harus Di Luruskan IV
Meskipun
telah jelas bahwa mereka yang tidak mau menggunakan metode tafwidh dan ta’wil
adalah aliran bathil, akan tetapi wahabi tetap nekat dan bersikukuh dalam
kebathilan. Wahabi menganggap apa yang mereka lakukan sebagai keteguhan di atas
sunah. Kelakuan wahabi ini persis seperti yang disinggung oleh Al-Quran surat
Al-Kahfi: 104,
الذين
ضل سعيهم في الحياة الدنيا وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا
Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang sesat perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan
mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”
Semua
itu terjadi karena mereka tuli, bisu dan buta sebagaimana yang disinggung dalam
Al-Baqoroh: 18,
صم بكم عمى فهم لا يرجعون
Artinya:
“Mereka tuli, bisu, dan buta, amak mereka tidak akan kembali (kejalan yang
benar)”
Ada
yang menarik dari ajaran wahabi yang patut diperhatikan oleh umat islam, yaitu
ketika mereka mengambil kesimpulan atas pendapat madzhab asya’iroh bahwa Alloh
tidak memiliki tempat. Menurut wahabi jika Alloh tidak memiliki tempat berarti
Alloh tidak ada dimana-mana. Hal ini disampaikan oleh seorang member wahabi
berakun Dani Iskadar. Katanya:
“qosim@ salah satu bukti aqidah aswaja menolak sifat2 ALLAH mereka
mengatakan ALLAH ADA TANPA TEMPAT atau dengan kata lain ALLAH TIDAK DI
MANA-MANA. padahal begitu jelas ALLAH berfirman ARROHMAAN 'ALAL 'ARSY ISTAWA.”
Berikut sceer shotnya:
Kita
jelaskan kepada wahabi bahwa Alloh tidak memiliki tempat, bukan berarti Alloh
tidak ada dimana-mana. Melainkan karena Alloh tidak membutuhkan tempat. Sebab
Alloh ada dimana-mana. Jika Alloh berada disuatu tempat berarti Alloh tidak ada
dimana-mana. Melainkan hanya ditempat itu.
Pendapat
bahwa Alloh ada tanpa tempat, sebenarnya adalah pendapat Imam Aly KW
sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Farqu Bainalfiroq, hlm 333. Kata beliau:
كان الله ولا مكان وهو الأن علي ما عليه كان
Selanjutnya
ulama salaf mengikuti pendapat tersebut. Demikian juga ulama asya’iroh. Mereka
semua berpendapat bahwa Alloh ada tanpa tempat sebagaimana yang saya jelaskan
dalam artikel berjudul “Dialog Aswaja
VS Wahabi (Makna Istawa)”
Wahabi
yang selalu ngaku-ngaku sebagai pengikut salaf ternyata tidak mau menerima
fakta tersebut. Mereka tidak mau mengikuti pendapat ulama salaf. Sebaliknya,
mereka malah menyalahkan pendapat ulama salaf dan mengatakan bahwa Alloh
istiqror (Menetap) di atas Arsy. Wahabi memaknai lafazh istawa dalam surat
Thoha : 5 sebagai istiqror (menetap).
Hal
ini sebagaimana disampaikan oleh salah satu member wahabi berakun Dani
Iskadar. Katanya: “siapa yang
mengartikan istiwa dengan duduk. Dan siapa yang mengatakan ALLAH butuh tempat
duduk. Istiwa adalah istiqror. ALLAH berada di atas 'arsy-Nya dan hanya
ALLAH. yang mengetahui kaifiyah-Nya.”
Berikut screen shotnya:
Kami,
-para laskar aswaja- tidak mempermasalahkan kaifiyah istawa. Yang kami
persoalkan adalah pendapat wahabi bahwa makna Istawa adalah istiqror.
Alloh Istawa/Istiqror (menetap) di atas arsy. Pertanyaannya: Siapa nama ulama salaf dari kurun
sahabat, tabi’in dan tabit tabi’in yang mengatakan bahwa istawa bermakna
istiqror?
0 comments:
Post a Comment
Silahkan bertanya di kolom komentar di bawah ini