Saat
mengomentari Al-Qoonun al-Kulliy, Firanda berkata:
Istilah
al-Qoonun al-Kulliy adalah sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Fakhruddin
Ar-Roozi (Muhammad bin 'Umar bin Al-Husain, wafat 606 H). Al-Qoonun secara
bahasa artinya hukum/undang-undang, adapun al-Kulliy secara bahasa artinya
universal/keseluruhan. Maksud Ar-Roozi dengan al-Qoonun al-Kulliy yaitu
menjadikan akal sebagai undang-undang yang berlaku secara universal dalam
menentukan kebenaran dalil.
Semua
dalil baik dari Al-Qur’an dan As-Sunah harus ditimbang oleh akal. Yang pada
hakekatnya al-Qoonun al-Kulliy adalah bentuk "pengagungan akal di atas
dalil". Ar-Roozi tidaklah membawa sesuatu yang baru dalam hal ini, akan
tetapi ia hanya melanjutkan para pendahulunya dari para imam al-Mu'tazilah dan
para imam al-Asyaa'iroh.
Tanggapan:
Sebenarnya
sub ini bukan karya Firanda melainkan hanya terjemahan dari kitab “Naqdhu
Manhajil Asya’iroh” karya DR. Safar yang diterbitkan pada tahun 1407 H/ 1987 M.
Bukankah begitu wahai Firanda?
Saya
ingin memberitahu anda bahwa buku setebal 89 halaman itu telah dijawab oleh DR.
Umar Abdulloh Kamil melalui karyanya berjudul “Kafa Taqriban Lil Umah Bismis
Salaf”. Kitab setebal 165 halaman ini dikeluarkan pada tahun 1424 H/2004 M, 17
tahun setelah buku karya DR. Safar beredar dan sampai hari ini belum ada
tanggapan apapun dari wahabi. Saya lihat artikel Firanda baru di upload di
webnya pada 01 November 2012 atau 8 tahun setelah buku DR. Safar dijawab.
Sebagai
pelajar yang sedang mengejar gelar S3, apakah anda tidak malu menerjemahkan
buku yang telah dijawab itu? Akan sangat ilmiyah jika anda membantah jawaban
DR. Umar Abdulloh Kamil, dari pada hanya menerjemahkan karya DR. Safar yang telah
dijawab dan sudah basi. Memalukan, sangat memalukan.
Saya
ingin anda memahami duduk permasalahannya, dan untuk itu anda harus mengetahui
sejarah panjang lahirnya ilmu teologi sehingga menjadi bidang studi menyendiri.
Di sini saya akan meringkas sejarah panjang tersebut agar menjadi jelas duduk
permasalahannya.
Pada
awalnya islam bersatu padu. Tidak ada istilah madzhab atau aliran apapun dalam
islam. Adanya aliran teologi untuk pertama kalinya adalah ketika terjadi
konflik politik antara Sayyidina Aly kw dan Muawiyah. Konflik ini melahirkan
dua aliran, khowarij dan syiah. Kemudian lahir juga aliran jabariyah,
qodariyah, mu’tazilah, hasyawiyah, mujasimah, mu’atholah dan lain-lain.
Permasalahan
yang menyebabkan lahirnya aliran-aliran itu berbeda-beda. Jika lahirnya
khowarij dan syiah adalah karena konflik politik maka lahirnya qodariyah dan
jabbariyah adalah karena masalah af’al ibad. Apakah perbuatan manusia diciptakan
oleh Alloh atau oleh manusia itu sendiri? Mereka yang mengatakan manusia yang
menciptakan perbuatan itu disebut qodariyah sedangkan yang mengatakan bahwa
Alloh lah yang menciptakannya, mereka disebut jabariyah.
Demikian
juga masalah yang melahirkan aliran hasyawiyah, mu’atholah dan mujasimah.
Lahirnya aliran-aliran ini adalah karena memahami ayat atau hadist tentang
sifat-sifat Alloh. Mereka semua, termasuk mu’tazilah sama-sama mengetahui
adanya ayat tentang sifat-sifat Alloh yang secara literal serupa dengan mahluk seperti
sami’, ‘ilm dan bashor. Dalam hadits juga ada riwayat yang menerangkan tentang
sifat Alloh seperti yad, nuzul, yaminulloh, dan lain-lain.
Masing-masing
mereka memahami ayat dan hadits tersebut secara literal sehingga lahirlah
perbedaan pendapat. Mereka yang mengingkari sifat-sifat tersebut, disebut
aliran mu’atholah. Mereka yang mempercayai ayat dan hadits tersebut kemudian
beranggapan bahwa Alloh memiliki anggota tubuh disebut mujasimah.
Berbeda
dengan mu’tazilah. Semua hadits tentang sifat-sifat Alloh mereka tolak,
sedangkan ayat-ayat Quran yang membicarakan sifat-sifat Alloh, mereka sebut sebagai asma’ Alloh. Mereka tidak
mau menyebutnya sebagai sifat Alloh sebab bagi mereka sifat adalah sesuatu yang
berbeda dengan zat. Jika Alloh memiliki sifat, berarti Alloh memiliki serupa,
sedangkan al-quran dengan tegas menafikan keserupaan itu. Oleh karena itu
mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Alloh.
Dapat
dipahami bahwa dalam memahami ayat atau hadits tentang sifat Alloh,
aliran-aliran di atas sama-sama memahami maknanya secara lahiriyah. Mereka
sama-sama memahami bahwa Alloh memiliki keserupaan dengan mahluk. Namun karena
dalam al-quran dijelaskan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan
Alloh, maka aliran mu’tazilah dan mu’atholah menolak sifat-sifat itu.
Sedangkan
aliran hasyawiyah dan mujasimah, keduanya sama-sama menerima adanya sifat Alloh
dan meyakini bahwa Alloh memiliki anggota badan. Agar pendapat mereka ini tidak
bertentangan dengan ayat yang mengatakan bahwa tidak ada suatu apapun yang
menyerupai Alloh, maka mereka mengatakan bahwa anggota tubuh Alloh tidak sama
dengan anggota tubuh mahluk.
Tetapi
ada umat islam yang saat itu tidak ikut campur dalam masalah ini. Mereka
mempercayai adanya sifat-sifat Alloh sebagaimana yang disebutkan dalam al-quran
dan hadits namun mereka menyerahkan maknanya kepada Alloh yang pada gilirannya
sikap seperti ini disebut dengan tafwidh. Metode tafwidh inilah yang digunakaan
oleh para sahabat dan salafus sholih. Sehingga mereka berkata: “Kami
mempercayai ayat dan hadits tentang sifat Alloh. Akan tetapi kami tidak tahu
maknanya.” Kemudian umat islam yang mengikuti metode ini disebut sebagai ahlu
sunah wal jama’ah. Ini
menjadi alasan mengapa tafwidh menjadi salah satu metode dalam madzhab Asy’ari
ketika menghadapi ayat atau hadits tentang sifat-sifat Alloh.
Di
pondok pesantren di Indonesia yang mayoritas mengikuti madzhab Asy’ari, masalah ini tidak begitu ditekuni. Para
santri hanya diwajibkan menghafal dan ming-imani sifat wajib, sifat muhal dan
sifat jaiz Alloh. Mereka tidak diwajibkan mengetahui makna sifat-sifat
tersebut. Maka jangan heran jika umat islam di Indonesia, hanya mengetahui
masalah itu. Sebab, kyai-kyai mereka adalah santri yang mengikuti metode
tafwidh.
Mari
kita copi paste kalam Ar-Rozi yang dinukil oleh Firanda. Kata Ar-rozi:
ثم إن جوزنا التأويل اشتغلنا علي سبيل التبرع بذكر تلك التأويلات
علي التفصيل وإن لم تجوز التأويل فوضعنا العلم بها إلى الله
“Kemudian jika kita memperbolehkan ta’wil maka
kita sibuk di atas jalan tabaru’ dengan menyebutkan ta’wil-ta’wil itu secara
terperinci. Dan apabila ta’wil tidak diperbolehkan maka kita serahkan (tafwidh)
ilmu tentang sifat kepada Alloh.”
Ucapan
Ar-Rozi tersebut jelas sekali menunjukan dua metode yaitu ta’wil dan tafwidh
yang mana dua metode ini merupakan cara yang dilakukan oleh ahlul Haq
sebagaimana yang saya jelaskan di sini…
Namun
Firanda mengatakan; Ar-Rozi berpendapat bahwa semua dalil baik dari Al-Qur’an
dan As-Sunah harus ditimbang oleh akal. Silahkan tunjukan kepada saya, kalimat
yang mana yang memberi kepahaman seperti itu? Jawab wahai wahabiyun!!!
0 comments:
Post a Comment
Silahkan bertanya di kolom komentar di bawah ini