Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Sunday, April 21, 2013

Qonun Al-kulli (Hukum Universal Ar-Rozi: Jawaban untuk ustad wahabi, Firanda)


Saat mengomentari Al-Qoonun al-Kulliy, Firanda berkata:
Istilah al-Qoonun al-Kulliy adalah sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Fakhruddin Ar-Roozi (Muhammad bin 'Umar bin Al-Husain, wafat 606 H). Al-Qoonun secara bahasa artinya hukum/undang-undang, adapun al-Kulliy secara bahasa artinya universal/keseluruhan. Maksud Ar-Roozi dengan al-Qoonun al-Kulliy yaitu menjadikan akal sebagai undang-undang yang berlaku secara universal dalam menentukan kebenaran dalil.

Semua dalil baik dari Al-Qur’an dan As-Sunah harus ditimbang oleh akal. Yang pada hakekatnya al-Qoonun al-Kulliy adalah bentuk "pengagungan akal di atas dalil". Ar-Roozi tidaklah membawa sesuatu yang baru dalam hal ini, akan tetapi ia hanya melanjutkan para pendahulunya dari para imam al-Mu'tazilah dan para imam al-Asyaa'iroh.

Tanggapan:

Sebenarnya sub ini bukan karya Firanda melainkan hanya terjemahan dari kitab “Naqdhu Manhajil Asya’iroh” karya DR. Safar yang diterbitkan pada tahun 1407 H/ 1987 M. Bukankah begitu wahai Firanda?

Saya ingin memberitahu anda bahwa buku setebal 89 halaman itu telah dijawab oleh DR. Umar Abdulloh Kamil melalui karyanya berjudul “Kafa Taqriban Lil Umah Bismis Salaf”. Kitab setebal 165 halaman ini dikeluarkan pada tahun 1424 H/2004 M, 17 tahun setelah buku karya DR. Safar beredar dan sampai hari ini belum ada tanggapan apapun dari wahabi. Saya lihat artikel Firanda baru di upload di webnya pada 01 November 2012 atau 8 tahun setelah buku DR. Safar dijawab.

Sebagai pelajar yang sedang mengejar gelar S3, apakah anda tidak malu menerjemahkan buku yang telah dijawab itu? Akan sangat ilmiyah jika anda membantah jawaban DR. Umar Abdulloh Kamil, dari pada hanya menerjemahkan karya DR. Safar yang telah dijawab dan sudah basi. Memalukan, sangat memalukan.

Saya ingin anda memahami duduk permasalahannya, dan untuk itu anda harus mengetahui sejarah panjang lahirnya ilmu teologi sehingga menjadi bidang studi menyendiri. Di sini saya akan meringkas sejarah panjang tersebut agar menjadi jelas duduk permasalahannya.

Pada awalnya islam bersatu padu. Tidak ada istilah madzhab atau aliran apapun dalam islam. Adanya aliran teologi untuk pertama kalinya adalah ketika terjadi konflik politik antara Sayyidina Aly kw dan Muawiyah. Konflik ini melahirkan dua aliran, khowarij dan syiah. Kemudian lahir juga aliran jabariyah, qodariyah, mu’tazilah, hasyawiyah, mujasimah, mu’atholah dan lain-lain.

Permasalahan yang menyebabkan lahirnya aliran-aliran itu berbeda-beda. Jika lahirnya khowarij dan syiah adalah karena konflik politik maka lahirnya qodariyah dan jabbariyah adalah karena masalah af’al ibad. Apakah perbuatan manusia diciptakan oleh Alloh atau oleh manusia itu sendiri? Mereka yang mengatakan manusia yang menciptakan perbuatan itu disebut qodariyah sedangkan yang mengatakan bahwa Alloh lah yang menciptakannya, mereka disebut jabariyah.

Demikian juga masalah yang melahirkan aliran hasyawiyah, mu’atholah dan mujasimah. Lahirnya aliran-aliran ini adalah karena memahami ayat atau hadist tentang sifat-sifat Alloh. Mereka semua, termasuk mu’tazilah sama-sama mengetahui adanya ayat tentang sifat-sifat Alloh yang secara literal serupa dengan mahluk seperti sami’, ‘ilm dan bashor. Dalam hadits juga ada riwayat yang menerangkan tentang sifat Alloh seperti yad, nuzul, yaminulloh, dan lain-lain.

Masing-masing mereka memahami ayat dan hadits tersebut secara literal sehingga lahirlah perbedaan pendapat. Mereka yang mengingkari sifat-sifat tersebut, disebut aliran mu’atholah. Mereka yang mempercayai ayat dan hadits tersebut kemudian beranggapan bahwa Alloh memiliki anggota tubuh disebut mujasimah.

Berbeda dengan mu’tazilah. Semua hadits tentang sifat-sifat Alloh mereka tolak, sedangkan ayat-ayat Quran yang membicarakan sifat-sifat Alloh,  mereka sebut sebagai asma’ Alloh. Mereka tidak mau menyebutnya sebagai sifat Alloh sebab bagi mereka sifat adalah sesuatu yang berbeda dengan zat. Jika Alloh memiliki sifat, berarti Alloh memiliki serupa, sedangkan al-quran dengan tegas menafikan keserupaan itu. Oleh karena itu mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Alloh.

Dapat dipahami bahwa dalam memahami ayat atau hadits tentang sifat Alloh, aliran-aliran di atas sama-sama memahami maknanya secara lahiriyah. Mereka sama-sama memahami bahwa Alloh memiliki keserupaan dengan mahluk. Namun karena dalam al-quran dijelaskan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Alloh, maka aliran mu’tazilah dan mu’atholah menolak sifat-sifat itu.

Sedangkan aliran hasyawiyah dan mujasimah, keduanya sama-sama menerima adanya sifat Alloh dan meyakini bahwa Alloh memiliki anggota badan. Agar pendapat mereka ini tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan bahwa tidak ada suatu apapun yang menyerupai Alloh, maka mereka mengatakan bahwa anggota tubuh Alloh tidak sama dengan anggota tubuh mahluk. 

Tetapi ada umat islam yang saat itu tidak ikut campur dalam masalah ini. Mereka mempercayai adanya sifat-sifat Alloh sebagaimana yang disebutkan dalam al-quran dan hadits namun mereka menyerahkan maknanya kepada Alloh yang pada gilirannya sikap seperti ini disebut dengan tafwidh. Metode tafwidh inilah yang digunakaan oleh para sahabat dan salafus sholih. Sehingga mereka berkata: “Kami mempercayai ayat dan hadits tentang sifat Alloh. Akan tetapi kami tidak tahu maknanya.” Kemudian umat islam yang mengikuti metode ini disebut sebagai ahlu sunah wal jama’ah. Ini menjadi alasan mengapa tafwidh menjadi salah satu metode dalam madzhab Asy’ari ketika menghadapi ayat atau hadits tentang sifat-sifat Alloh.

Di pondok pesantren di Indonesia yang mayoritas mengikuti madzhab Asy’ari,  masalah ini tidak begitu ditekuni. Para santri hanya diwajibkan menghafal dan ming-imani sifat wajib, sifat muhal dan sifat jaiz Alloh. Mereka tidak diwajibkan mengetahui makna sifat-sifat tersebut. Maka jangan heran jika umat islam di Indonesia, hanya mengetahui masalah itu. Sebab, kyai-kyai mereka adalah santri yang mengikuti metode tafwidh.

Mari kita copi paste kalam Ar-Rozi yang dinukil oleh Firanda. Kata Ar-rozi:
ثم إن جوزنا التأويل اشتغلنا علي سبيل التبرع بذكر تلك التأويلات علي التفصيل وإن لم تجوز التأويل فوضعنا العلم بها إلى الله
“Kemudian jika kita memperbolehkan ta’wil maka kita sibuk di atas jalan tabaru’ dengan menyebutkan ta’wil-ta’wil itu secara terperinci. Dan apabila ta’wil tidak diperbolehkan maka kita serahkan (tafwidh) ilmu tentang sifat kepada Alloh.”

Ucapan Ar-Rozi tersebut jelas sekali menunjukan dua metode yaitu ta’wil dan tafwidh yang mana dua metode ini merupakan cara yang dilakukan oleh ahlul Haq sebagaimana yang saya jelaskan di sini…
Namun Firanda mengatakan; Ar-Rozi berpendapat bahwa semua dalil baik dari Al-Qur’an dan As-Sunah harus ditimbang oleh akal. Silahkan tunjukan kepada saya, kalimat yang mana yang memberi kepahaman seperti itu? Jawab wahai wahabiyun!!!


0 comments:

Post a Comment

Silahkan bertanya di kolom komentar di bawah ini

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates