Dalam
al-Quran terdapat klarifikasi ayat muhkam dan mutasyabih sebagaimana yang
diterangkan dalam Ali Imron: 7,
هو
الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات
Artinya:
“Dialah yang menurunkan Al-Kita (Al-Qur’an) kepada kamu, di antara isinya ada
ayat-ayat muhkamat, itulah pokok isi Al-Qur’an dan yang lain adalah
mutasyabihat.”
Dari
ayat tersebut timbul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan ayat muhakamat dan
mutasyabihat? Mengenai hal ini Ulama berbeda pendapat, sebagai berikut:
1.
Al-muhkam
adalah Ayat-ayat Qur’an yang dilalahnya tegas (jelas) sedangkan mutasyabihat
adalah sebaliknya.
2.
Al-Muhkam
adalah ayat-ayat yang susunan kalimatnya jelas dalam pemahaman sedangkan
mutasyabihat adalah sebaliknya.
3.
Al-muhkam
adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui sangat jelas atau menggunakan
ta’wil. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang maksudnya hanya diketahui
oleh Alloh.
4.
Al-muhkam
adalah ayat-ayat yang menimbulkan satu sisi ta’wil sedangkan mutasyabihat
adalah ayat yang menimbulkan beberapa ta’wil.
5.
Al-muhkam
adalah ayat-ayat yang dapat dinalar maksudnya sedangkan mutasyabihat adalah
sebaliknya.
(Muhammad
Ibn Aly Bin Muhammad Asy-Syaukani, Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiqil Haq Min Ilmil
Ushul, hlm 33).
Contoh
ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang membeicarakan masalah sifat Alloh yang
secara zhohirnya menunjukan bahwa Alloh serupa dengan mahluk, seperti Thoha: 5
الرحمن
علي العرش استوى
Kalimat
استوى semakna dengan kalimat
استقر . Jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya adalah menetap. Jika kita
fahami استوى secara bahasa
maka ayat di atas memberi kepahaman bahwa Alloh menetap di atas Arsy.
Tetapi
kepahaman seperti ini bertentangan dengan ayat yang lain, seperti Al-Baqoroh:
115,
ولله
المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله
Artinya:
“Kepunyaan Alloh lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Alloh.”
Ayat
ini memebri kepahaman bahwa Alloh ada dimana-mana. Dengan demikian Alloh tidak
menetap di suatu tempat. Jika
kata istawa dalam surat Thoha: 5 diartikan secara bahasa yaitu istaqoro
(menetap) maka bertentangan dengan al-baqoroh: 155 yang menunjukan bahwa Alloh
ada dimana-mana, atau dengan kata lain Alloh tidak menetap pada suatu tempat.
Oleh karena dalam Al-Qur’an mustahil terjadi pertentangan, maka tidak ada jalan
keluar kecuali memahmi Thoha: 5 dengan tidak melihat makna literalnya. Dalam
madzhab Asy’ari, ini disebut ta’wil. Untuk lebih jelasnya silahkan baca artikel saya berjudul Makna Istawa.
Namun
demikian, ulama telah mewanti-wanti kita agar tidak membahas ayat-ayat
mutasyabihat. Bukan karena ayat-ayat itu tidak memiliki makna melainkan karena
keterbatasan akal kita untuk memahaminya. Maka dalam menghadapi ayat-ayat
mutasyabihat cukuplah bagi kita mengatakan: “Kami beriman kepada ayat-ayat
mutasyabihat, bahwa semua itu dari Alloh.” Dalam madzhab Asy’ari, ini disebut
dengan Tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Alloh).
Jadi,
dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, madzhab Asy’ari memiliki dua cara,
yaitu ta’wil dan tafwidh. Dua cara ini merupakan metode yang dilakukan oleh ulama
salaf ahlu sunah waljama’ah sebagaimana yang saya jelaskan dalam artikel Mafahim
Yang Harus Di Luruskan V .
0 comments:
Post a Comment
Silahkan bertanya di kolom komentar di bawah ini