Dalam
artikelnya Firanda mengatakan: “Maksud Ar-Roozi dengan al-Qoonun al-Kulliy
yaitu menjadikan akal sebagai undang-undang yang berlaku secara universal dalam
menentukan kebenaran dalil. Semua dalil baik dari Al-Qur’an dan As-Sunah harus
ditimbang oleh akal. Yang pada hakekatnya al-Qoonun al-Kulliy adalah bentuk
"pengagungan akal di atas dalil."
Tanggapan:
Sungguh
buruk pemahaman anda wahai Firanda. Kesimpulan anda tersebut sama sekali tidak
bisa dinisbatkan kepada qonun al-kuly. Itu hanya pemahaman anda yang cupet dan
kerdil yang lahir dari ketidak mampuan anda menggunakan akal untuk berfikir
dalam memahami hukum al-kuly.
Hukum
Al-kully membahas hukum semua aliran dalam islam. 4 point pertama yang
disebutkan oleh Ar-rozi adalah untuk menolak pendapat aliran hasyawiyah,
mu’atholah dan mu’tazilah. Sedangkan point yang terahir, yaitu ta’wil dan
tafwidh merupakan metode yang ia gunakan untuk menandingi motode-metode mereka.
Berikut saya copi paste hukum al-kulli yang dinukil oleh Firanda.
“Ketahuilah
bahwasanya dalil-dalil akal yang qoth'iy (pasti benarnya) jika telah
menunjukkan akan tetapnya sesuatu lalu kita mendapatkan ada dalil-dalil naql
(al-Qur'an dan hadits) yang dzohirnya mengesankan penyelisihan terhadap apa
yang ditetapkan oleh dalil akal, maka kondisinya tidak akan lepas dari salah
satu dari empat kemungkinan:
(Pertama) : Akal dan Naql kedua-duanya dibenarkan, maka ini adalah tidak
mungkin, karena melazimkan pembenaran terhadap dua perkara yang saling
kontradiktif.
(Kedua)
: Kita membatilkan kedua-duanya maka ini melazimkan pendustaan terhadap dua
perkara yang saling kontradiktif dan ini juga mustahil.
(Ketiga)
: Kita mendustakan dzohirnya dalil-dalil naql (al-Qur'an dan Hadits) dan
dzohirnya akal dibenarkan
(Keempat)
: Atau membenarkan dzohirnya dalil naqli dan didustakan dzohirnya akal, dan
tentunya hal ini adalah kebatilan, karena tidak mungkin kita mengetahui
benarnya dzohir dari naql kecuali setelah kita mengetahui dengan akal kita
adanya pencipta dan sifat-sifatnya, bagaimana penunjukan mukjizat akan
kebenaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan munculnya mukjizat
melalui tangan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kalau
seandainya ada pencelaan terhadap pendalilan akal yang qoth'iy maka jadilah
akal itu diragukan dan tidak diterima keputusannya. Dan jika perkaranya
demikian maka tentunya penetapan akal tidak bisa diterima dalam perkara-perkara
usul/pokok ini (adanya Allah, sifat-sifat Allah, kebenaran Nabi dll-pen). Dan
jika pokok-pokok (aqidah) ini tidak bisa ditetapkan maka jadilah dalil-dalil
naql tidak berfaedah. Kesimpulannya : Pencelaan terhadap akal untuk membenarkan
naql melazimkan pencelaan terhadap akal dan naql sekaligus, dan bahwasanya ini
adalah kebatilan.
Dan
tatkala empat kemungkinan di atas batil maka tidak tersisa kecuali
memastikan sesuai dengan konsekuensi dari dalil-dalil akal yang qot'i :
Bahwasanya dalil-dalil naql (al-Quran dan al-Hadits) tidaklah shahih atau
dikatakan bahwasanya ia shahih akan tetapi maksudnya adalah tidak sesuai dengan
dzohir lafalnya. Kemudian jika kita membolehkan takwil maka kita menyibukkan
diri bertabaru’ dengan menyebutkan takwil-takwilan tersebut secara terperinci.
Dan jika kita tidak membolehkan takwil maka kita serahkan ilmunya kepada Allah
ta'aala. Inilah al-Qonun al-Kulliy (Undang-undang Universal) yang dikembalikan
kepadanya seluruh dalil-dalil naql yang mutasyaabihaat"
(Asaas
at-Taqdiis 220-221, tahqiq : DR Ahmad Hijaazi As-Saqoo, Maktabah Al-Kulliyaat
Al-Azhariyah)
Penjelasan Al-Qonun Al-kulli.
Dalam
al-quran dijelaskan bahwa tidak ada sesuatupun yang menyamai Alloh. Asyuro’:
11,
ليس
كمثله شيء
Artinya:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Alloh.”
Dari
sini, terlahir dalil aqli bahwa Alloh harus berbeda dengan mahluknya dari
segala segi. Jika wujud mahluk bersifat huduts (baru) maka Alloh harus bersifat
qidam. Jika mahluk memiliki anggota tubuh, maka Alloh tidak memiliki anggota
tubuh. Jika mahluk membutuhkan tempat, maka Alloh tidak butuh tempat. Dan
seterusnya. Ini adalah dalil akal yang qoth’i.
Sementara
dalil naqli yang secara zhohir bertentangan dengan dalil aqli adalah seperti
sifat istawa dalam surat thoha: 5;
الرحمن
علي العرش استوى
Secara
bahasa استوى bermakna استقر . Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya adalah menetap.
Jika makna istawa dipahami secara zhohir, maka surat thoha;5 memberikan
kepahaman bahwa Alloh menetap di atas Arsy. Sifat menetap di suatu tempat
adalah sifat mahluk. Padahal tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Alloh.
Jika Alloh menetap di arsy berarti ini serupa dengan mahluk. Kasus seperti
inilah yang di bahas dalam hukum al-kuli. Jika kasus tersebut terjadi, maka
-kata Ar-Rozi- tidak akan terlepas dari 4 kemungkinan, sebagai berikut:
(Pertama)
: “Akal dan Naql, kedua-duanya dibenarkan.” Ini adalah hukum yang digunakan
oleh aliran hasyawiyah. Mereka memaknai istawa dengan istiqror. Mereka
membenarkan zhohir ayat tersebut dan membenarkan dalil aqli bahwa Alloh tidak
serupa dengan mahluk. Kemudian mereka meyakini Alloh bersemayam di atas arsy
namun cara bersemayam-Nya tidak sama dengan bersemayamnya mahluk.
Tetapi
pendapat ini ditolak oleh Ar-Rozi. Maka dari itu, ia berkata: “ini adalah tidak
mungkin, karena melazimkan pembenaran terhadap dua perkara yang saling
kontradiktif.” Itulah maksud point pertama. Ar-rozi menunjukan hukum yang
diberikan oleh aliran hasyawiyah, kemudian ia membantah hukum tersebut.
(Kedua)
: “Kita membatilkan kedua-duanya.” Ini adalah hukum yang diberikan oleh aliran
mu’atholah. Mereka menolak adanya sifat Alloh, juga menolak dalil aqli yang
menunjukan bahwa Alloh memiliki sifat.
Tetapi
pendapat itu ditolak oleh Ar-Rozi. Maka dari itu, ia berkata: “ini melazimkan
pendustaan terhadap dua perkara yang saling kontradiktif dan ini juga
mustahil.” Inilah maksud point ke dua.
Ar-Rozi menunjukan hukum yang diberikan oleh aliran mu’atholah, kemudian ia
membantah hukum tersebut.
(Ketiga)
: “Kita mendustakan dzohirnya dalil-dalil naql (al-Qur'an dan Hadits) dan
dzohirnya akal dibenarkan.” Ini adalah hukum yang diberikan oleh mu’tazilah
yang saat ini diwakili oleh syi’ah itsna ‘asyaroh. Mereka mendustakan zhohir
naql tersebut kemudian menolak sifat Alloh dan menetapkan dalil aqli bahwa
Alloh tidak boleh sama dengan mahluk.
(Keempat)
: “Atau membenarkan dzohirnya dalil naqli dan didustakan dzohirnya akal.” Ini
adalah hukum yang diberikan oleh aliran mujasimah yang saat ini diwakili oleh
wahabi. Mereka menerima zhohir dalil naqli dan menolak dalil aqli (ta’wil).
Tetapi
Ar-Rozi menolak hukum dari kedua aliran tersebut. Maka dari itu, ia berkata: “dan
tentunya hal ini adalah kebatilan, karena tidak mungkin kita mengetahui
benarnya dzohir dari naql kecuali setelah kita mengetahui dengan akal kita
adanya pencipta dan sifat-sifatnya, bagaimana penunjukan mukjizat akan
kebenaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan munculnya mukjizat
melalui tangan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Setelah
Ar-Rozi menolak 4 hukum yang diajukan oleh aliran-aliran sesat itu, maka
selanjutnya ia menunjukan metode yang di berikan oleh ulama salaf sholih yaitu
ta’wil dan tafwidh. Di ahir pembahasan, Ar-Rozi berkata:
ثم إن جوزنا التأويل اشتغلنا علي سبيل التبرع بذكر تلك
التأويلات علي التفصيل وإن لم تجوز التأويل فوضعنا العلم بها إلى الله. فهذا هو القانون الكلى المرجوع اليه في جميع المتشابهات.
“Kemudian
jika kita memperbolehkan ta’wil maka kita sibuk di atas jalan tabaru’ dengan
menyebutkan ta’wil-ta’wil itu secara terperinci. Dan apabila ta’wil tidak
diperbolehkan maka kita serahkan (tafwidh) ilmu tentang sifat kepada Alloh.
Inilah hukum kulli tempat kembali semua mutasyabihat.”
Itulah
maksud hukum universal Ar-Rozi yang tidak bisa dicerna oleh akal yang kerdil,
pikiran yang cupet, dan hati yang picik sehingga hukum universal tersebut
dipahami sebagai bentuk pengagungan terhadap akal. Saya kira umat islam yang
merupakan sebaik-baik umat dapat mencerna penjelasan saya. Walhamdulillahi
Robbil ‘alamin.
1 comments:
Semoga manpaat.. Amin.. Ganyang terus wahabi. Hahahaha
Post a Comment
Silahkan bertanya di kolom komentar di bawah ini